: Bagian Sebelas :

109 15 22
                                    

Scrambler milik Sundari menderu. Langit malam tak menampilkan bintang, bulan pun tak sepenuhnya muncul ke permukaan, langit menutupinya. Angin berusaha menembus kulit ari Dari seolah menyuruhnya untuk berhenti dan pulang. Namun, sayang beribu sayang, angin malam tak mampu menjatuhkannya. Sundari enggan pulang.

Ia masih memacu scrambler-nya untuk membelah jalanan kota. Kecepatannya di atas rata-rata, suaranya menderu mengudara. Dari tak pernah takut untuk jatuh. Hari saat ia melihat Ibu dan kekasihnya ditimbun tanah membuatnya tidak takut lagi untuk runtuh.

Dari sudah gila, anggaplah begitu. Ia sudah tak memiliki tujuan hidup setelah semuanya berpulang. Impiannya padam, tujuannya menghilang, bahkan kehidupannya hancur berantakan. Dari dibenci kehidupan itu sendiri. Suara-suara gila terus menderu seperti mesin motor miliknya di dalam kepala.

Dari tak ingin berkuliah. Namun, ia juga tak ingin bekerja. Dari tak ingin lagi memacu scrambler-nya. Namun, ia tak mampu pergi kemana pun tanpa motor miliknya. Dari enggan pulang ke rumah. Namun, ia tak memiliki tempat berpulang selain bangunan beratap genting merah itu. Dari enggan hidup. Namun, di satu sisi tetap tak mau mengakhiri. Satu-satunya jalan hanya menunggunya menghilang dan terjatuh di atas tanah.

Dari bukan maniak seperti Farel.

Ia ingat, satu tahun lalu ada pria yang pernah berjanji banyak hal sebelum ingkar. Dari mencengkram stang dengan sekuat tenaga. Emosinya hampir memuncak di atas kendaraan. Air matanya tertahan, ia ingin menangis sekeras mungkin dari balik helm yang ia kenakan. Bagaimanapun juga Dari hanya manusia biasa penuh luka.

Suara pria yang ia cinta berseru di dalam kepala. "Anak cewek yang keluyuran malem-malem biasanya jadi sasaran buto ijo." Hingga detik yang sama, dunia dalam kepala Sundari menyeruak.

Ia ditelan memorinya sendiri.

Satu tahun yang lalu saat hanya ada ia dan Farel di depan kontrakan. Lima anak-anak yang diasuh oleh Fauzan sedang bersenang-senang di lapangan. Kawan baik mereka; Fauzan, belum pulang dari tempatnya bekerja. Motor Dari mogok, ia belum mengganti busi yang sepertinya terbakar. Dari belum sempat membawanya ke bengkel. Ia sibuk dengan pelatihan olimpiade.

Farel yang ada di sana tiba-tiba berujar, "dulu, gua juga punya motor custom juga kayak lu. Bedanya motor gua cafe racer."

Dari yang masih berusaha membuat motornya menyala menatap pria di hadapannya dengan heran. "Terus kemana sekarang?" tanyanya setelah ingat bahwa Farel tak pernah membawa motor berjenis cafe racer ke kontrakan.

Pria yang ditanya terkekeh, "gua jual buat nge-gigs."

Motor Dari menyala, gadis itu bersiap untuk pergi dari kontrakan Fauzan. "Lo anak band?" tanya gadis itu sembari memakai helm.

Farel tertawa lebar sebelum menjawab pertanyaan dari gadis yang baru ia temui beberapa bulan lalu. Ia berujar penuh semangat, "iya, tapi sebentar lagi gua solo. Pokoknya lo bakal jadi orang pertama yang gue kasih tiketnya." Katanya.

Setahun yang lalu, Dari tertawa.

Namun, di saat yang sama, detik ini, scrambler Dari berhenti mendadak. Suara rem yang bergesekan dengan aspal menderu di udara. Dari sadar akan hadirnya realita yang ada. Suara portal dan peringatan palang kereta api kembali masuk ke dalam indra pendengarannya.

Air matanya menetes. Kereta api melaju kencang pada jalur kereta beberapa meter dari roda depannya. Malam terus memaksanya untuk pergi dari masa lalunya. Dari tak mampu, Farel terlalu sulit dilupakan, memori masa lalunya terlalu sulit diabaikan. Perasaannya sudah jatuh terlalu dalam.

Tak lama Dari menunggu, suara kereta perlahan menghilang. Portal kembali dibuka secara otomatis, suara sirine kembali mengudara. Dari menghapus air matanya. Isak tangisnya lolos. Detik saat ia bersiap untuk melaju, suara Farel kembali bergema di dalam kepalanya, "lo harus dateng waktu gua solo!"

RancuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang