Penthong

3.8K 165 9
                                    

" Tong,tong,tong! Tong,tong,tong! " bunyi semacam kentongan terdengar keras, " tong! Tong! Tong! " semakin keras lagi.

" Jangan main kentongan! " dari jendela, ku peringatkan anak-anak kecil yang tengah memainkan kentongan di pos ronda. Mereka tampak tak cukup gembira meski seorang wanita paruh baya berpakaian compang-camping tampak ketakutan. Rambutnya semrawut dengan wajah amat kotor. Di tangan kanannya menenteng sebuah boneka bayi yang wajahnya amat menyeramkan. Matanya coblong, rambutnya hampir botak sebagian, kakinya buntung sebelah, dengan jari-jari tangan yang tak lengkap, dengan posisi kedua tangan menutupi telinga.

" Pentong! Pentong! Pentong! " teriaknya.

Astaga apa yang mereka lakukan? Pikirku. Aku segera berlari keluar rumah dan menegur mereka!

" Pergi kalian! Pergi! " usirku, " Hadi?! Kamu juga ikit ikutan mereka? " ku lihat putra bungsuku juga berada diantaranya. Ku jewer telinga kanannya dan menyeretnya hingga memerah.

" Pulang kamu! " bantakku sementara Hadi mulai menangis. Anak-anak itu mungkin menganggapnya lucu dengan tertawa-tawa sambil berlari.

Sepeninggal mereka, wanita itu tak berhenti menggerak-gerakkan kepalanya yang urakan. Bola matanya pun tak berhenti bergerak. Ia sedikit menyeret kakinya yang agak cacat. Pakaian terusan putih itu semakin terlihat lecek. Mataku mengiringi kepergiannya dengan tatapan iba.

" Nayra! Nayra! " wanita itu berlalu sembari menggendong boneka menyeramkan itu.

Mungkin itu nama anaknya, pikirku kemudian masuk kedalam rumah, untuk mengajari anakku sopan santun.

Beberapa hari berlalu. Seorang anak di desaku tiba-tiba menghilang. Warga dibuat panik olehnya. Berbekal masa dan obor menyala, kami berbaris memanggil-manggil anak pak Dirham yang belum pulang sejak semalam.

" Witan! Witan! " sampai serak suara Bu Inah, ibu Witan.

Hari semakin larut dan kopi buatan istriku sudah terngiang-ngiang di kepalaku. Secara sembunyi-sembunyi, aku memisahkan diri dan segera pulang.

Menyusahkan saja! pikirku sembari berbalik.

" Kopi bu! " teriakku sembari merebahkan diri di bangku kayu depan rumahku.

" Anak Pak Dirham ketemu pak? " istriku buru-buru keluar.

" Ya belum! "

" Lha, kok bapak udah pulang? "

" Ya karena lelah, seharian ini aku mencari, tapi belum ketemu juga. "

" Tapi ya jangan pulang sendiri, malu nanti pak! "

" Halah, paling juga nanti ketemu. " remehku sembari meraih kopi hitam buatan Inem.

" Nayra! Nayra! " wanita aneh berpakaian compang-camping itu menggoyang-goyang boneka bayinya, melewati halaman rumahku. Entah karena malam atau apa, tiba-tiba bulu kudukku merinding.

" Siapa itu bu? " aku segera menanyakannya pada istriku.

" Dia itu mak ijah. Dia begitu lantaran anak semata wayangnya meninggal puluhan tahun lalu, suaminya juga sudah meninggal, " jelasnya sembari ikutan duduk, " itu sebabnya dia sekarang hidup sendiri. Kasian dia, jadi nggak waras! " imbuhnya.

Pantas saja aku tak tahu, pikirku. Pasalnya, aku baru tiba disini sekitar sembilan tahun lalu untuk menikahi istriku.

" Kok aku jadi merinding ya bu? " aku memegangi lenganku, " anak-anak sudah di rumah semua? "

" Sudah pak! " tenangnya.

" Kita tutup saja pintunya! Perasaanku nggak enak. " ajakku sembari menghabiskan kopi tersebut.

Hingga pagi, Witan tetap tak ditemukan. Aku sedikit merasa bersalah karena pulang lebih awal.

Rempah DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang