Tong! Tong! Tong! Tong!
Tanda berkumpul menggunakan kentongan itu menjalar ke seluruh desa dengan cepat. Setiap rumah yang meneruskan suara tersebut lambat laun sampai juga ke rumahku. Aku pun kemudian ikut membunyikan kentongan, sebelum beranjak menuju balai desa, dimana kami biasa berkumpul.
"Mak Ijah! Pasti dia orangnya!" baru saja sampai di sana, tempat itu sudah jadi ajang sebar hujat yang membuatku menyesal datang ke sana, seketika.
"Memang Pak Dirham punya bukti?"
"Dari dulu, dia itu aneh! Bawa-bawa boneka menyeramkan, pakaiannya compang-camping, lagipula, kalian tahu kan, kalau dia itu kehilangan anaknya?"
"Kenapa tuh pak?" tanya salah seorang tetanggaku, begitu memasuki aula.
"Saya juga baru saja datang pak! Kurang paham!" jawabku.
"Secepatnya kita harus usir Mak Ijah dari kampung!" seru Pak Dirham, entah bagaimana pembicaraan sudah mencapai puncak.
Terserah sajalah! Aku nggak mau ikut-ikutan, pikirku, seraya kembali kerumah.
Sampai di rumah, istriku langsung menghadangku dengan tatapan geram. Ia menahan daun pintu dengan tangan menyedekap, seolah tak menyukai kedatanganku.
"Kok malah pulang pak!" protesnya, begitu tubuhku terhuyung-huyung menuju kursi panjang di depan rumah.
"Habisnya, aku takut dosa buk!" jawabku, seraya kipas-kipas wajahku yang kepanasan.
"Dosa gimana?" tanyanya, seraya bergabung dalam kursi panjang seadanya, yang ku buat dari bambu kering itu.
"Mereka mau ngusir Mak Ijah. Bapak takut dosa karena mereka nggak punya bukti kalau dia bersalah." Jawabku, seraya leyeh-leyeh.
"Lho, bukannya mencari Witan anaknya Pak Dirham lagi?"
"Sepertinya Pak Dirham sudah menyerah mencari anaknya buk. Makanya dia cari pelampiasan," jawabku, "sudahlah, bapak mau tidur dulu!" lanjutku, seraya bangkit meninggalkan istriku yang kebingungan.
Tanpa ku sadari, aku terlelap begitu saja. Entah karena lelah atau apa, tiba-tiba saja hari sudah gelap. Menyadari itu, ku bangunkan diriku dan mendapati Inah, istriku tengah mondar-mandir kebingungan. Anakku yang paling kecil, Dian juga dalam gendongan wanita yang semakin berkurang kecantikannya itu. Namun, sayang dan cintaku pada wanita yang telah mengkaruniakan dua anak padaku itu tak berkurang sedikitpun.
"Lho, buk? Kenapa mondar-mandir begitu?"
"Hadi pak! Hadi!" jawabnya gusar.
"Kenapa lagi anak nakal itu!?"
"Sejak tadi belum pulang!" rengek Inah, semakin cemas.
"Sebentar lagi paling dia juga pulang dengan belepotan. Biar nanti bapak kasih pelajaran itu anak badung!" ancamku, geram.
Namun kenyataannya, prediksiku meleset. Hadi tak pernah pulang seperti apa yang ku sepelekan. Hingga akhirnya, satu kampung terpaksa mencarinya. Dari mulai ujung ke ujung kami telusuri, ladang sampai jurang kami sambangi, tetap saja anak nakal itu tak ditemukan.
"Jangan-jangan Mak Ijah!" celetuk Pak Dirham.
"Ah, jangan asal nuduh begitu pak! Lagipula Mak Ijah sudah kita usir kemarin." Sanggah salah seorang warga.
"Tapi, saya tadi siang lihat Mak Ijah di pos ronda." Sahut warga lain.
"Benarkah itu?" serobotku.
Aku tahu ini salah. Namun, mataku telah dihalalkan oleh prasangka, dan terlanjur curiga berlebih, pada wanita aneh yang selalu menenteng boneka menyeramkan itu. Dan bukannya meneruskan pencarian, hari itu kami beralih mencari wanita tua misterius itu.