Pernah gue denger tentang sebuah jalan yang berubah menjadi dua. Pengalaman sopir pantura ini konon terjadi di sebuah pengkolan dekat kuburan, di jalur pantura sebelum memasuki jalan tol. Sebenarnya, banyak banget treat serupa semisal Alas Roban dan cerita mainstream lainnya. Entah kenapa gw kepikiran ngangkat treat ini.
Mungkin, nggak harus disana. Kuburan di sebuah daerah di tempat gw juga memiliki cerita yang serupa. Tapi, cerita yang bisa gw gali nggak sebanyak cerita yang satu ini. Gw musti bnyak nanya ke sopir-sopir truk yang biasa membawa hasil panen atau ikan laut melimpah menuju ibukota. Langsung aja deh, cekidot.
.........Sebut saja Parmin. Dia merupakan sopir truk yang biasa diandelin buat ngangkut segala hal menuju ibukota, baik untuk dijual, atau sekedar pindah dan bongkaran rumah.
Tubuhnya kurus dan kering bak ranting beringin kering. Kulitnya pun coklat keruh dengan beberapa bekas luka di kedua lengannya. Tapi, jangan anggap remeh pria humoris yang satu ini. Ia kenal betul dengan jajaran preman dari mulai penguasa Pulo Gadung, sampai preman Ngalam hingga ke Nganjuk sana.
Pengalaman tigapuluh tahun menjadi sopir juga bukanlah isapan jempol belaka, mengingat kemampuannya yang luarbiasa. Memundurkan truk di gang sempit, putar balik si jalan pas-pasan, hingga melewati jalanan kasar, terjal, maupun berlubang. Semuanha ia lumat dengan gaya mengemudi kasarnya yang sedikit diperdebatkan. Mulai dari as, gear, bahkan gigi mobil juragannya tak ada lagi yang masih original akibat gaya mengemudinya itu. Tapi, pengalaman membuat namanya urung dicoret dari daftar karyawan tetapnya.
Di balik kepiawaiannya mengemudikan mobil besar, ada satu hal yang ia takutkan selain kejaran polisi mengingat sim B umumnya yang sudah telat dua bulan. Ialah gangguan setan. Itu terjadi ketika jalur pantura yang harusnya menjadi makanannya tiba-tiba tak sesuai harapannya.
Kalau tak salah sebut, Brebes. Sebuah kota yang terkenal akan ke-ngapak-kannya itu. Ia tengah dalam perjalan menuju ibukota, membawa tepung tapioka kering titipan kenalannya, sebut saja Ko Ah Meng.
Jalanan tiba-tiba saja macet parah hingga beberapa jam. Panggilan bosnya yang memenuhi log ponsel jadulnya kian membuatnya gerah. Ia teringat dengan jalur alternatif yang dulu ia gunakan bersama partnernya, Waldi. Sayangnya, Sarju yang menjadi partnernya kali ini sama sekali tak mengerti wilayah tersebut. Alhasil, nekatlah Parmin yang sudah gerah dengan nada dering ponsel tuanya itu.
“ Parmin! Oe gue suluh belangkang dali tadi, masak masih belum sampai juga o? “ omel Ko Ah Meng.
“ Sabar Ko! Ini juga lagi jalan! “ sembari memandang jalanan gelap yang terjal itu, Parmin terlihat kesal menjawabnya.
“ Sudah jalan lagi ya? Ya sudah, oe tunggu kabal baik lu olang! “ ia pun menutup panggilan singkat itu.
“ Berisik aja lu! Kalau bukan bos, udah gue cukur kumis lo! “ gerutunya.
“ Bener Min, lewat sini? “ Sarju terlihat cemas.
“ Santai aja Ju! Gw itu udah hafal semua jalan di Jawa! “ Parmin menyombongkan diri.
“ Ya udah! “ Sarju kemudian bersiap tidur mengingat hari kian larut. Waktunya bergantian juga masih lama. Ia terlihat memunggungi Parmin dan bersiap tidur.
Tibalah mereka di sebuah persimpangan dekat kuburan gelap.
“ Apa ada persimpangan disini? “ Parmin terlihat bingung, “ Ju! Bangun Ju! “ ia menepuk kaki buluk partnernya.
“ Ada apa? " Sarju terbangun.
" Gw lupa belok kemana! “ Parmin mulai cemas.
“ Belok kiri aja! Nggak mungkin kita ke kanan orang arahnya saja kesana! “ Sarju tak bergeming.
Benar juga ya? Parmin pun mengikuti saran tak jelas Sarju.
Ia banting setirnya kuat-kuat mengingat jalan yang amat terjal.
“ Reeeeen!!!! “ mesin mobil semakin menggeram karena tikungan menanjak curam itu. Semakin kuat lagi, Si Parmin memancal pedal gasnya.
“ Duar!!! “ tiba-tiba, tikungan tersebut lenyap. Kepala mobil mereka sudah menggantung di tepian jurang, keluar dari jalur.
Untung Parmin cekatan, ia segera memundurkan mobilnya cepat-cepat hingga bak belakangnya menabrak dinding pembatas.
“ Lebih baik berhadapan dengan preman. Kalau nggak ada duit, ya tinggal adu nyali. Daripada lawan musuh yang nggak kelihatan. “ itulah kutipan yang ia gunakan, untuk menutup cerita.
Lokasinya pun serupa dengan fenomena yang sama pula. Sebuah tanjakan menikung di depan kuburan dekat desaku juga memikiki cerita yang mirip. Para sopir yang sudah biasa melintas kebanyakan akan menunggu hari berganti, atau setidaknya menunggu kendaraan lain, lalu mengikutinya. Hal ini karena beberapa sopir yang sial akan melihat ilusi seolah jalan tersebut bercabang, padahal sebenarnya jalan itu hanya satu jalur.
Entah fenomena mistis, ilusi pengendara yang mengantuk, atau sebuah cara membuat sensasi baru. Yang jelas, hal itu benar-benar terjadi dengan jumlah korban yang tak lagi dapat dihitung jari.
Salam rempah ...