Saryati (Montor Culik)

1.6K 113 15
                                    

"Saryati! Saryati!!!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Saryati! Saryati!!!"

Lagi-lagi pergi! Aku tahu itu dari aroma shampo wangi yang biasanya, hanya ia pakai saat bepergian itu. Ku dengar, beliau hendak berangkat kondangan. Ya, wanita itu ibuku. Aku yakin sekali kalau beliau bakalan memberiku uang jajan, agar aku mau berdiam diri di rumah. Yang membuatku sebal, rumahku sedikit berjauhan dengan rumah tetangga. Itu membuatku kesulitan bermain. Diam di rumah bakalan lebih membosankan lagi, setdlah tetanggaku terdekat sedang pergi.

"Ibu mau berangkat kondangan sebentar, kamu jaga rumah saja ya! Bapak juga bentar lagi pulang."

Apa kataku? Ini sudah jadi kebiasaannya yang membuatku paham, hanya dari aroma shampo dan dandanan menornya saja.

Sebenarnya, uang 500 perak pemberiannya lebih dari sekedar pantas, hanya untuk sekedar berdiam di rumah. Uang segitu bahkan saku seminggu, bagi kebanyakan teman-temanku. Ya, keluargaku begitu memanjakanku, walau penghasilan keluargaku tak begitu mentereng. Mungkin karena aku ini anak tunggal. Sialnya, dimanjakan membuatku menjadi gadis yang aleman.

Hari itu pun demikian.

"Yati mau ikut Mak! Pokoknya ikut!" jurus eyelan pertama ku keluarkan.

Eyelan? Ya, aku menolak tawaran menggiurkan itu begitu saja.

"Jauh nak! Kamu ndak bakalan kuat jalannya! Mae ndak mau gendong kamu karena sendal Mae licin!" tentu saja ibuku memberi perlawanan sengit.

"Ndak papa mak! Yati janji ndak bakalan ngerepotin kok!" jurus eyelanku berlanjut, dengan sentuhan wajah melas yang menambah kekuatan eyelanku.

"Sebentar kok! Sebentar saja! Nanti Mae kasih oleh-oleh yang banyak pokoknya, ya!?"

"Halah, Yati mau ikut, pokoknya!"

Lho, kok aneh? Ibuku biasanya akan langsung menyerah kalau aku sudah pasang tampang melas. Kenapa dengan hari ini? Pikirku.

"Pokoknya ndak boleh! Kalau kamu ngeyel, Minggu depan kamu ndak jadi dibeliin boneka!" justru ibuku yang mengancamnya dengan sesuatu yang berhasil membuatku ketakutan. Pasalnya, aku begitu ngidam dengan boneka Barbie bermata biru itu, sejak anak pak kades yang kaya raya memamerkannya padaku, bulan lalu.

Seketika aku menangis. Entah mengapa aku begitu sedih, walau sebenarnya hatiku telah ikhlas untuk diam di rumah. Dan ibuku juga nampak begitu menyesal. Sekuat tenaga ia memenangkanku, sebelum pergi dengan gusar. Tapi ternyata, diam di rumah tak se-membosankan pikiranku.

Rempah DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang