Bab 09

17.8K 1.7K 64
                                    

Tenang Gi, ini cuman traktir Ia doang. Gak usah panik. Lo bukan mau ajak dia nikah!

Berulang kali Gi memberi tahu dirinya untuk bersikap biasa saja supaya kelihatan normal di mata Aria. Lelaki itu sudah sampai di CP lebih awal 10 menit dari waktu janjian. Sembari menunggu Aria yang tak kunjung membalas WhatsApp darinya, Gi memilih untuk mengitari CP, tentunya seorang diri.

Di akhir pekan, pengunjung mall tentu meningkat tidak hanya didatangi oleh keluarga berserta ajudannya tetapi juga ramai pasangan anak muda yang gayanya kayak orang dewasa berusia 25 tahun. Gi yang sudah mengajar dari 2004 hanya bisa menggeleng kepala dengan perubahan gaya anak muda. Di zamannya dulu asal bisa bonceng teman dengan motor itu sudah keren, tapi zaman sekarang kerennya anak muda itu kalau bisa ngerokok, ngajak pacar makan di lounge, kasih bunga setiap di hari jadi, beli baju mahal, dan kongkow di bar.

Gi mendengus dalam hatinya yakin gadis yang ia lihat tengah berjalan berduaan dengan sang kekasih itu masih duduk di bangku SMA, tapi gayanya seperti emak-emak yang gak tahu umur pakai baju on action pamer kulit sana sini. Untung sudah dikencengin kulitnya coba kalau gak? Gobor-gobor deh itu kulit.

Gi menghentikan langkahnya ketika ponsel disakunya bergetar, Gi langsung mengambilnya dan membaca WhatsApp yang masuk dari Aria.

Aria : Bapak sudah sampai?

Gi : Sudah. Kamu di mana? Saya susul kamu aja.

Aria : Gramed. Ini mau bayar, biar aku yang nyusul Bapak. Bapak posisinya di mana?

Gi : Depan BR.

Aria : Okay. Wait ya ;)

Gi tersenyum dan kembali menyimpan ponselnya di saku. Wajah bahagia tidak bisa lepas dari dirinya saat tahu ia akan bertemu dengan Aria. Tak sampai 10 menit, Aria sudah muncul di hadapannya dengan membawa dua bungkusan.

Satu kantong plastik berlogo Gramedia dan satu kantong belanjaan dari Batik Keris. Gi menatap Aria bingung, jam segini Aria sudah belanja?

"Happy birthday, PaGi. Wish you all the best. Soon give me your wedding invitation as my birthday gift," kata Aria memberi selamat sekaligus meledek Gi. Aria menyerahkan kantong belanjaan dari Batik Keris kepada Gi. Gi tertawa, ia menerima pemberian Aria dengan senang hati.

"Saya rasa gara-gara kamu suka ngejek saya dulu, saya jadi berat jodoh," Gi berpendapat. Dulu ketika ia masih belajar pendidikan strata dua, Aria masih suka menghubunginya secara random dengan topik yang tidak bisa ditebak. Bisa tanya pr, tanya kabar, dan lucunya ketika ia bercerita kalau ia bermimpi Gi nikah. Dari situ Aria suka meledeknya.

Tanda-tanda calon bapak-bapak. Ditunggu undangannya.

"Gak ada hubungan. Jadi makan di mana?" tanya Aria antusias. Urusan makanan Aria nomor satu.

"Kamu mau makan apa?" Gi berbalik bertanya. Dahi Aria mengerut seketika. "Bapak belum tahu mau ngajak saya mau makan apa?"

Gi menggeleng dan Aria menepuk dahinya. "Traktiran yang aneh."

"Saya jarang makan di CP. Jadi saya gak tahu mau makan apa," aku Gi.

"Terus kenapa Bapak ngajak makan di CP kalau Bapak gak tahu mau makan apa?"

"Saya pikirin kamu. Kalau di Tangerang kamu harus nyetir agak jauh. Jadi saya pikir makan aja di CP. Biar deket sama tempat kamu."

Aria tertegun. Sebenarnya dia terbiasa untuk menyetir jauh-jauh. Baginya Jakarta-Tangerang itu tidak jauh, apalagi dia suka ke Karawaci, namun ia merasa tersanjung ketik Gi memikirkannya dan memilih CP sebagai tempat makan siang supaya Aria tidak usah menyentir jauh-jauh ke Tangerang.

Pesawat KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang