Bab 29

16K 1.4K 36
                                    

Semua butuh uang. Tapi Gi lebih butuh restu.
-Author-

>><<

Aria sedang menghitung pengeluaran yang sudah ia lakukan setelah ia menerima sangunya. Setiap bulan rasanya jantung Aria seperti ditusuk, mau menangis karena sangunya hanya duduk sebentar di tempat yang Aria sediakan. Baru duduk berapa menit sudah mengalir ke sana-sini untuk bayar ini-itu, belum lagi dia harus membayar cicilan apartemen yang baru lunas dua tahun lagi.

Sebagai anak ekonomi dia tahu pentingnya memiliki aset atas nama sendiri entah itu emas, mobil, maupun rumah. Maka dari itu ketika ia merasa sudah cukup stabil, ia berani menginventasikan aset-aset penting. Tiap awal bulan itu Aria cuman senang sesaat karena tidak lama kemudian ia harus mengeluarkan uang untuk membayar cicilan.

Aria menutup buku pengeluarannya kemudian menyimpannya kembali di tempat tadi ia mengambil. Selama dua tahun kedepan, setiap bulannya dia harus membayar cicilan dengan jumlah besar. Kalau apartemennya sudah lunas, satu bebannya bisa berkurang.

Bicara mengenai aset, Aria baru sadar kalau Gi sudah cukup banyak memiliki aset. Tempat lesnya merupakan ruko miliknya sendiri, atas digunakan untuk tempat les bawahnya fotokopi, rumah, dan mobil. Aria yakin kalau semuanya itu hasil Gi menabung semenjak usianya 20an, karena tidak mungkin dan logis kalau Gi memiliki semua aset itu ketika ia baru mengajar di kampus.

"Keren juga sih punya pacar kayak dia," guman Aria sambil mengingat wajah Gi.

"Kalau dia denger pasti geer 7 tahun 7 bulan," tawa Aria sambil beranjak menuju dapur untuk membuat teh.

Berpacaran dengan Gi yang notabene laki-laki matang atau kelewat matang itu ada suka-duka sendiri. Sukanya Aria bisa banyak belajar dari Gi, bisa menenangkan dia yang suka kelewat bawel, tempat curhat yang lebih aman bahkan diberi solusi. Tapi dukanya, suka dilihatin orang-orang karena jalan sama om-om, harus mengimbangi kedewasaan Gi, dan suka cek-cok karena beda pandangan.

"Anak kecil pacaran sama orang gede agak susah ya," monolognya. Sebenarnya dia ingin curhat ke Lia atau kakak-kakaknya tentang apa yang dialami selama menjalin asmara dengan Gi, tapi rasanya ia belum bisa melakukan itu lantaran Aria tidak bisa menangkap sinyal Lia dengan baik dan benar.

Dia dibuat bingung oleh Lia. Lia tidak mau secara langsung mengatakan ketidaksukaan atau kesukaannya terhadap sesuatu, selalu harus bisa diterka sendiri. Aria kadang tidak suka dengan sikap ibunya itu, baginya itu yang mempersulit dia untuk melakukan apapun. Memang enak memiliki orang tua yang tidak mengekang anaknya, tapi tidak enaknya ketika ditanya pendapat dia malah bertanya balik. Niatnya mendapat jawaban dari kebingungan, nyatanya malah dibuat semakin bingung.

"Padahal udah mau 26, tapi masih gak bisa ngerti cinta."

>><<

"Hei," panggil Gi saat ia melihat Aria yang asik mejeng di taman terbuka Central Park. Aria menoleh lalu tersenyum lebar.

"Hai, jadi liburannya gimana? Om Yosep sehat?" tanya Aria.

"Ya gitu deh, agak bosan. Papa sehat," jawab Gi sesuai pertanyaan.

"Baguslah. Seharusnya aku aja yang ke Tangerang, bukan kamu yang ke Jakarta padahal kemarin baru pulang. Sampenya malam banget lagi," keluh Aria.

Pesawat KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang