Dua

3.5K 238 6
                                    

Bunyi yang selalu ditunggu-tunggu oleh semua murid sepanjang hari, tidak berubah dari generasi ke generasi. Termasuk oleh murid-murid di kelas Luna yang jam terakhirnya diisi oleh matematika yang membuat kepala pusing tujuh keliling. Sayangnya, guru mereka tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyelesaikan pelajaran mereka dalam lima menit ke depan. Pak Surya malah semakin semangat menjelaskan tentang teori polinomial.

"Kerjakan tugas di halaman 210. Kumpulkan lusa di buku tugas."

Kalimat penutup yang pak Surya keluarkan sepuluh menit kemudian diiringi erangan tertahan dari seluruh penghuni IPA-2. Erangan yang diikuti bunyi ribut yang berpadu begitu pak Surya meninggalkan kelas. Bunyi kursi dan meja yang bergeser, aduan buku dengan permukaan meja, pensil dan pulpen yang saling memukul, juga langkah kaki yang mulai menggema di ruangan kelas, entah itu melangkah menjauh atau masih di kelas dan hanya berpindah tempat.

"Ada yang jemput, tuh." Laila menyikut Luna yang sedang membereskan buku-bukunya.

Luna tertawa menanggapi kalimat Laila. Tanpa harus menoleh ke pintu kelas, ia sudah tahu siapa penjemput yang Laila maksud.

Siapa lagi kalau bukan Langit?

Sudah rahasia umum di angkatan mereka kalau saat bel pulang berbunyi, pangeran beransel biru itu akan buru-buru membereskan bukunya dan ngacir dari kelas. Menit berikutnya, pemuda itu akan muncul di ambang pintu kelas Luna. Menunggu gadis itu membereskan barang-barangnya dan pulang bersama.

Dulu, di awal-awal kelas satu, Luna pernah kesal karena godaan teman-temannya. Mereka selalu bilang kalau Luna dan Langit yang seperti orang pacaran―datang bersama, pulang bersama, kadang menghabiskan waktu bersama, bahkan Luna sering menunggui Langit di lapangan basket saat jam istirahat, ketika latihan, atau saat Langit rapat OSIS. Hampir selalu seperti itu, tidak pernah berubah setelah satu tahun setengah lamanya.

Sekarang, Luna tidak terlalu memikirkan ledekan itu. Luna sudah bisa tertawa menanggapinya, sudah tidak lagi mengambil pusing atas segala ledekan dan godaan itu. Imunnya sudah kebal―toh apapun yang ia jelaskan pada teman-temannya tentang hubungannya dan Langit, itu tidak diindahkan oleh mereka.

Luna berpamitan pada Laila, lalu menghampiri Langit yang masih berdiri di ambang pintu kelasnya.

"Duluan, La!"

Langit melambai pada Laila, melemparkan senyumnya yang mempesona. Laila melambai balik dengan senyuman yang tersungging di bibirnya. Lalu ia menoleh ke sekelilingnya, mendapati sebagian besar teman-teman ceweknya masih terpana karena senyuman yang tadi Langit berikan.

"Ya ampun, tuh cowok kok senyumnya masih bikin cenat-cenut gitu, sih?"

"Iya ih, padahal udah hampir dua tahun kita satu sekolah!"

"Tatapan matanya juga masih bikin melting!"

"Gue mau deh jadi pacarnya kalau disenyumin gitu tiap hari!"

"Luna beruntung banget deh, tiap hari disenyumin sama Langit."

itu. Andai mereka tahu, bahwa jika Langit memberikan senyuman yang sama pada Luna, Luna sama sekali tidak terkesan apalagi terpesona. Ia akan mencak-mencak dan menuduh pemuda itu sedang menggodanya.

Seperti sekarang. Pemuda yang menjadi pembicaraan di kelas Luna itu sedang menerima omelan dari sahabat mungilnya.

"Lo gak usah ganjen-ganjen gitu, deh. Nggak nyadar kalau di kelas gue itu banyak fans lo? Nggak lihat kalau mereka sampai terpesona gitu sama senyuman lo?"

Langit nyengir, menatap sahabatnya dengan raut wajah yang dipasang sepolos mungkin.

"Ohya? Gue gak fokus sama mereka tuh. Gue fokusnya sama lo,"

Langit, Bulan, dan MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang