Delapan

2.7K 182 4
                                    

Langit berlari-lari kecil menuju aula. Ia baru saja selesai berlatih basket, mempersiapkan diri untuk turnamen berikutnya. Langit sudah berjanji untuk pulang bersama Luna. Itulah yang membawanya ke aula sore ini. Tempat dimana anak-anak drama sedang berlatih untuk kenaikan kelas nanti.

Langit menyelinap masuk lewat pintu yang tidak tertutup rapat. Anak-anak drama berdiri di atas panggung, merapat ke tepi-tepi panggung semen aula mereka dengan tatapan yang tertuju lekat ke tengah-tengah. Tepat ke arah Luna dan Aksa yang berdiri berhadap-hadapan. Langit ikut menatap ke arah mereka, berdiri beberapa meter dari panggung dengan tangan bersedekap di depan dada.

Luna menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, satu gerakan yang biasa ia lakukan jika salah tingkah—Langit tidak tahu apakah gadis itu sedang berakting atau memang gugup, tapi semua terlihat natural sekali. Gadis itu tersenyum pada Aksa yang menyerahkan sesuatu padanya. Langit hampir tertawa melihat benda asal comot yang digunakan Aksa untuk properti latihan. Gulungan kertas?

"Aku membawakan ini untukmu,"

Luna tersenyum bingung, "Ini ..."

"Untukmu," ujar Aksa. "Kemarin aku tidak melakukannya dengan baik—memberimu sebuah bunga 'curian'. Jadi hari ini aku memintanya pada ibuku. Ku harap kamu suka,"

Sesaat, Luna tidak berkata-kata. Ia menerima gulungan kertas yang disodorkan Aksa, menatapnya dengan terpana.

"Aku suka. Sangat," Lalu Luna mendongkakan kepalanya, menatap Aksa dan tersenyum. "Terima kasih banyak, Langit."

Eh? Langit?

Suara tepuk tangan menahan pertanyaan yang berkelebat di kepala Langit. Ia menegakkan punggungnya dan menurunkan tangan ke kedua sisi tubuhnya. Tepat saat itu, Azura, yang sejak tadi lekat menatap Luna dan Aksa, menangkap sosok Langit di retinanya.

"Oh, hai, Bapak Kosis. Tumben kemari. Mau jemput tuan putri, ya?"

Luna mencubit Azura di perutnya, membuat gadis itu terkekeh-kekeh. Beberapa pasang mata melirik ke arah Langit, menyambut pemuda itu dengan senyum. Langit balas tersenyum, menghampiri mereka di atas panggung.

"Mumpung lo disini, kenapa nggak sekalian ngasih pertunjukkan buat kita?" Azura menyeringai jail. Luna menggeleng kencang, memberi isyarat pada Langit agar tidak menanggapi Azura. Sayangnya, Langit mengacuhkannya dan malah membalas seringai Azura.

"Pertunjukkan apa, Ibu Sutradara?"

"Gimana kalau lo tunjukkin kalau lo nggak cuma jago di lapangan, tapi juga jago menawan hati sang putri?"

Langit tertawa. Ia hendak menolak permintaan Azura ketika dilihatnya Luna menggeleng- lagi, memberi isyarat agar Langit tidak memenuhinya. Melihat reaksi gadis itu, Langit menyeringai jail.

"Oke."

Anak-anak drama—terutama gadis-gadis—bertepuk tangan antusias, sementara Luna melotot galak padanya. Langit tertawa.

"Improvisasi boleh 'kan?"

Azura menggerakan tangannya, mempersilahkan. Pemuda itu berbalik, menghadap Luna yang masih menunjukkan raut cemberut.

"Senyum, Tuan Putri. Wajah cantiknya nanti jadi jelek."

Luna mencebik, membuat Langit menusuk pipinya dengan telunjuk. Luna mengaduh, lalu menggeplak tangan pemuda itu.

"Oi, mesra-mesraannya nanti aja!" Dirga berdecak, walau terlihat dari wajahnya ia ingin tertawa. Azura, Aksa, Cakra, dan yang lainnya bahkan tidak malu-malu untuk menyeringai geli. Langit menampakkan senyum miring, sebelum berpaling pada Luna dan memasang wajah serius.

Langit, Bulan, dan MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang