Dua Puluh Enam

1.9K 163 4
                                    

Kudapati diri makin tersesat saat kita bersama
Desah nafas yang tak bisa dusta
Persahabatan berubah jadi cinta

Langit menggerutu ketika mendengar lagu itu diputar di radio. Kenapa sih harus lagu ini? Besok akan ada praktek kesenian dan Langit sudah berencana untuk bernyanyi sambil bermain gitar. Dan kenapa, di saat ia mencari ide, kenapa yang diputar di radio harus lagu-lagu tentang jatuh cinta!? Tadi, Andai Dia Tahu-nya Kahitna. Sebelumnya, Ketika Kau Menyapa-nya Marcell. Lebih parah lagi, sekarang Sahabat Jadi Cinta-nya Zigaz.

Kalau ia membawakan lagu ini, bisa-bisa yang mendengarkan malah berpikiran yang tidak-tidak!

Ia menghempaskan dirinya di kasurnya yang berantakan. Tatapannya jatuh pada langit biru diluar jendela, yang menampakkan sore yang cerah. Biasanya, sesore ini ia masih di sekolah, berlatih basket dengan teman-temannya. Atau ia akan bermain di halaman belakang—kadang bersama Tirta, tapi lebih bersama sesosok gadis mungil yang lebih sering menonton dibandingkan bermain dengannya. Atau, ia pergi ke taman baca yang tidak jauh dari komplek rumahnya, mendengarkan gadis yang sama mendongeng ke anak-anak yang berkumpul disana. Atau memperhatikan sosok gadis itu mengajarkan baca pada anak-anak panti di perkampungan sekitar kompleks. Atau, ia akan duduk memperhatikan gadis itu sibuk dengan laptopnya, mengetikkan cerita baru atau apapun yang sedang ada di pikirannya. Hanya memperhatikan, menemani dalam diam.

Langit tidak keberatan. Ia lebih dari bahagia melakukannya. Menemani gadis mungil itu menikmati apapun yang menyenangkan untuknya. Lebih lagi, menikmati waktu dimana ia bisa memandang gadis itu sepuasnya, menatapnya dengan binar yang selama ini tidak pernah ia perlihatkan di depan gadis itu. Gadis yang sensitif tapi tidak pernah peka pada perasaan Langit.

Lalu bayangan lain datang di kepalanya. Rencana-rencana hidupnya. Cita-citanya. Mimpi-mimpinya. Bayangan-bayangan masa depannya. Waktu-waktu yang ingin ia lalui bersama gadisnya. Semua tidak pernah berubah, sejak dulu sampai sekarang, bahkan mungkin sampai nanti.

Dan seketika sebuah ide muncul di kepalanya. Ia segera meraih kertas dan pulpen, lalu mencurat-coret. Ia tahu lagu apa yang harus ia bawakan besok!

Luna membuka pintu kamar Langit dan melongokkan kepalanya, celingukan mencari dimana pemuda itu. Tidak biasanya di hari secerah ini ia tidak menemukan pemuda itu di halaman belakang. Pemuda itu juga tidak ada di dapur, ruang makan, ruang tengah, atau dimanapun. Bunda bilang, sejak tadi pagi Langit hanya berdiam diri di kamarnya, tidak keluar kecuali saat sarapan. Dan sekarang, pemuda itu justru tidak ada di kamarnya.

***

Luna berjalan ke beranda, mengecek apakah pemuda itu ada disana. Lagi-lagi ia tidak mendapati sosok Langit. Luna hendak berbalik ketika ia menyadari kalau kamar Langit begitu berantakan. Kertas-kertas berserakan dimana-mana. Di lantai, meja belajar, kasur ... Luna berdecak pelan. Dasar cowok! Refleks, tangannya bergerak meraih kertas-kertas itu, hendak membereskannya.

"Oh, ada lo, Na."

Luna menoleh, melihat Langit dengan rambut yang masih basah dan handuk yang tersampir di bahunya, pertanda pemuda itu baru selesai mandi. Langit melangkah ke arahnya, menghempaskan diri begitu saja di atas kasur. Luna mendorong tubuh pemuda itu sambil berteriak "Awas dong!", berusaha menyingkirkan tubuhnya. Langit tertawa, tapi tak urung ia bergeser.

"Lo kayaknya sibuk banget," ujar Luna sambil membereskan kertas-kertas itu. Proposal kegiatan OSIS, sketsa formasi tim basket, draft karya tulis, juga coret-coret tugas-tugas Langit.

"Gue lagi mikirin formasi baru buat tim basket pas tiba-tiba gue diingetin Irvine buat ngecek proposal tim paskibra, KIR, sama follow up pentas akhir tahun." sahut Langit. Ia dapat mendengar Luna ber-"Ooh" pelan sebelum berkomentar.

"Yakin tuh dia ngingetin doang?"

Langit tertawa sambil memejamkan matanya. Bagian Irvine mengajaknya pergi makan siang di Minggu yang cerah ini tidak perlu ia ceritakan pada Luna, 'kan?

"Ini apa, Ngit?"

Langit membuka matanya dan menegakkan kepala. Tanpa disadarinya, Luna sudah berdiri disamping meja belajarnya untuk menyimpan kertas-kertasnya sebelum menyadari bahwa meja belajar Langit juga sama berantakannya dengan lantai dan kasurnya tadi. Kini Luna sedang memegangi salah satu kertas di atas meja belajarnya. Langit menatap kertas itu sejenak sebelum menyadari sesuatu.

Kertas lirik lagunya!

Langit segera melompat dari kasur, merebut kertas yang dipegang Luna dan buru-buru merapihkan meja belajarnya. Luna menatap Langit yang setengah panik membereskan kertas-kertasnya.

"Hayoh, lo bikin surat cinta, ya?" tuduh Luna dengan nada menggoda.

Pemuda itu berbalik dengan gugup, "Ng-nggak kok!"

"Masa?"

"Nggak! Beneran!"

"Oh, bukan surat?" Luna menaikkan satu alisnya. "Puisi cinta, ya?"

"Dih, kok lo nuduh gue kayak gitu sih?" gerutu Langit.

Luna tertawa kecil, "Habisnya, lo panik gitu. Biasa aja, kali. Gue juga gak bakal bilang-bilang sama cewek yang lo suka kok kalau lo emang bikin puisi cinta buat dia."

Langit melotot galak padanya, namun tiba-tiba pemuda itu mengalihkan tatapannya dari mata Luna yang balik menatapnya. Luna menaikkan lagi satu alisnya sebelum kembali menggoda Langit.

"Siapa cewek beruntung itu?"

Langit melotot lagi padanya, membuat Luna cekikikan.

"Gak apa-apa, lagi, kalau lo suka sama cewek. Justru gue bersyukur karena lo ternyata normal,"

"Gue dari dulu juga normal!" seru Langit tak terima.

"Yaaa, kali aja 'kan. Soalnya lo pacarannya sama bola basket mulu," sindir Luna sambil tertawa.

Ngomong-ngomong soal basket, Luna melihat mata Langit yang tiba-tiba berbinar-binar bahagia. Ia tertawa kecil, "Tuh, kan. Baru aja gue singgung-singgung soal cewek lo, lo udah seneng gitu."

"Gue gak sabar buat main lagi, Na!" seru Langit senang. Luna ikut tersenyum. Dua hari lagi, Langit akan melakukan pemeriksaan terakhir pada kakinya. Jika dokter menyatakan sembuh, pemuda itu akan bisa main basket lagi.

"Jadi, kalau lo udah bisa basket lagi, lo akan mengundurkan diri dari drama?"

Langit mengerutkan kening mendengarkan pertanyaan aneh Luna, "Kenapa lo nanya kayak gitu?"

"Ya ..." Luna terlihat salah tingkah. "Gue kira ... lo ikutan drama buat cari kesibukan lain. Kalau lo udah bisa main basket lagi, berarti lo kan udah gak butuh drama lagi."

Langit menatapnya, lalu mendesah dalam hati. Luna dan segala pikiran negatifnya. "Na, 'kan lo tahu kalau gue ikutan drama bukan cuma karena itu,"

Luna mendongkak. Matanya bersiborok dengan mata Langit yang sedang menatapnya lembut.

"Awalnya gue emang ikut karena gue nyari kesibukan buat pengalihan," Langit mengakui. "Tapi gue rasa, gak ada salahnya gue ikut andil di pentas akhir tahun. Toh, selama ini gue cuma tahu sebagai panitia, gak pernah tahu gimana rasanya jadi tim yang berpartisipasi di dalamnya." Dan karena ada satu alasan lain yang tidak bisa ia katakan pada Luna.

"Jadi, lo gak akan mundur?" Luna memastikan.

"Nggak akan. Janji. Lagian, kenaikan kelas kan tiga minggu lagi, Na. Masa gue setega itu sih, tiba-tiba hengkang? Bisa-bisa gue dimusuhin satu sekolah,"

Luna tersenyum, ternyata itu hanya kekhawatiran tak beralasannya. Sedetik kemudian ia menggerutu kesal karena Langit mengacak-acak rambutnya. Langit lalu mengatakan sesuatu yang membuat Luna terpana.

"Jangan khawatir, Pangeran gak akan pernah meninggalkan sang Putri lagi."

***

[07-08-2018]
[Repost: 16-09-2020]

Langit, Bulan, dan MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang