Satu

4.9K 265 12
                                    

Bel pertama sudah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu. Siswa-siswi SMA Angkasa sudah berpencar dari kelasnya masing-masing. Ada yang beranjak ke perpustakaan untuk mencari bahan referensi pelajaran mereka berikutnya atau bahan tugas dari guru mereka. Ada yang pergi ke lapangan olahraga—ini didominasi para siswa—untuk menghabiskan waktu istirahat dengan bermain olahraga. Sebagian besarnya, menghabiskan waktu di kantin sekolah. Mengisi bahan bakar setelah empat jam pelajaran yang menguras otak dan tenaga.

Tidak terkecuali Langit dan Luna. Keduanya sudah berada di kantin tak lama setelah bel istirahat berbunyi. Menghabiskan waktu selayaknya dua murid yang menikmati istirahatnya. Setidaknya, bagi Langit. Karena Luna sama sekali tidak menikmatinya. Tidak jika Langit terus-terusan mengganggunya yang sedang merevisi naskah untuk drama yang akan dipentaskan akhir tahun nanti.

"Ngit! Ah!" seru Luna untuk yang kesekian kalinya saat Langit menarik bundelan naskah yang sedang dicurat-coretnya. Gadis itu menatap galak pada pemuda yang sedang menyeringai tanpa dosa padanya itu.

"Jangan malah kencan sama naskah lo dong, Na. Buat apa gue disini kalau lo malah ngabisin waktu sama naskah lo? Gue cemburu. Gue juga kan pingin diperhatiin sama lo."

Luna memutar bola matanya, "Nggak usah drama, deh, Bapak Langit."

Perkenalkan, Langit Biru Mahardika. Murid kelas XI IPA-1 yang sering duduk di peringkat tiga besar kelas. Ketua OSIS SMA Angkasa. Salah satu atlit basket sekolah. Penggemar pelajaran fisika yang sering 'dicemplungkan' untuk mengikuti olimpiade sejak kelas X. Tambahkan wajah yang diatas rata-rata, sopan, ramah, baik hati, dan mudah berteman dengan siapa saja.

Sayangnya, itu hanya penampakan luar bagi orang-orang yang belum mengenalnya. Bagi Luna yang sudah menghabiskan seumur hidupnya dengan Langit, semua itu hanya kulit. Dalamnya? Berisik. Tengil. Jahil. Menyebalkan dan keras kepala—yang ini, sering Langit tunjukkan ketika mendebat Mentari. Kadang kekanakan. Kadang gombal. Suka cari perhatian. Juga suka mencipta drama—apalagi ketika Luna mengacuhkannya. Seperti sekarang.

"Gue lagi ngejar revisian supaya bisa kelar minggu ini, Ngit."

Dua minggu lalu, Luna diminta untuk membuat naskah drama untuk pertunjukan drama—ekstrakulikuler tempatnya bergabung setahun belakangan—di akhir tahun nanti. Di sekolah, Luna terkenal dengan tulisannya, entah itu yang menghiasi majalah dinding sekolah atau yang bertebaran di majalah remaja kota mereka. Gadis itu juga beberapa kali menggarap naskah drama sejak SMP, terutama untuk tugas kelas. Dan tahun ini, gadis itu dipercaya oleh eskul-nya untuk menggarap naskah mereka.

Luna tidak menolak, tentu saja. Selain karena tidak enak untuk menolak, toh ia juga suka mengerjakan apa yang diminta padanya. Terlebih, saat ia menunjukkan naskah kasarnya pada anggota eskul, mereka antusias dengan cerita ini. Membuat Luna semakin bersemangat untuk menulis naskahnya sebaik mungkin.

Tentu saja, Langit tahu Luna sedang sibuk merevisi naskahnya. Bagaimana mungkin Langit tidak tahu, kalau setiap hari Luna seperti pekerja yang dikejar-kejar deadline? Wajah serius, kadang tak terganggu sekitar, fokus pada satu hal. Tapi begitulah Luna yang ia kenal. Si Introvert yang terencana, teratur, dan disiplin. Yang kadang panik jika ada hal-hal yang terjadi diluar rencananya. Dan disanalah Langit berperan untuk Luna—si Santai dan Penenang. Penetralisir jika Luna sudah diambang terlalu serius.

"Jam istirahat ya waktunya istirahat, Nana. Lo bisa lanjut nanti sepulang sekolah, sambil nungguin gue latihan." sahut Langit. Pemuda itu terlihat berpikir sejenak, sebelum tiba-tiba matanya memicing. "Atau lo nggak berencana pulang bareng gue? Kenapa? Lo mau kencan?"

Luna berdecak sebal, "Kencan sama siapa, sih? Nggak ada cowok yang berani deketin gue karena gue punya bodyguard kayak elo."

Langit menyeringai. Matanya kemudian menangkap satu sosok yang baru saja memasuki kantin, mencari-cari keberadaan seseorang. Begitu ia menemukan Langit yang menatapnya dan sosok Luna yang membelakanginya, gadis itu tersenyum lebar. Gadis yang tak lain adalah Si Pusat Perhatian di lingkaran persahabatan mereka.

Langit, Bulan, dan MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang