Dua Puluh Tiga

1.8K 169 0
                                    

Hujan deras sore itu. Dan sialnya, Langit masih terjebak di sekolah. Rapat OSIS sepulang sekolah tadi ternyata lebih lama dari yang ia perkirakan. Satu per satu temannya sudah pulang―mereka membawa mobil, jadi tidak ada resiko kehujanan. Sebenarnya, tadi beberapa orang menawarinya untuk pulang bersama―tidak terkecuali Irvine, Marina, Sheila, dan entahlah tadi siapa lagi―tapi ia tolak. Selain karena rumah mereka berbeda arah, Langit tidak mau memberi kesempatan pada gadis-gadis itu untuk berdua-duaan saja dengannya di mobil.

Langit mendongkakan kepala. Hujan turun semakin lebat, dan ia sama sekali tidak membawa payung. Ia berdecak. Kalau seperti ini, ia tidak akan bisa pulang ke rumah tanpa diomelin Bunda―bajunya pasti basah jika ia menerobos hujan ke gerbang sekolah. Belum lagi angkot yang akan dinaikinya akan berhenti di portal, dan jarak antara portal kompleks dan rumahnya tidak dekat.

Sudahlah, ia akan menunggu sampai―

Langit terkesiap ketika sebuah payung tiba-tiba mengembang di hadapannya. Payung berwarna biru muda yang sangat ia kenali. Payung Luna. Dengan si pemilik payung kini sudah berdiri disampingnya.

"Lo ... kenapa masih disini?" tanya Langit, masih terkejut karena sesore ini Luna masih ada di sekolah. Padahal siang ini gadis itu tidak ada kegiatan apa-apa. Saking terkejutnya, Langit lupa kalau ia dan Luna sedang saling mendiamkan.

"Abis dari perpus," sahut Luna. Ia mengulurkan payungnya ke arah Langit. "Pegang."

Langit bengong.

"Pegang," ulang Luna. "Lo nggak mau gue yang pegang, 'kan dan nanti ngebatasin jarak pandang lo 'kan?"

Langit menerima payung itu dengan ragu. Kalau Luna mengulurkan payung itu padanya, apakah itu berarti—

"Ayo pulang,"

Langit terdiam. Beneran? Luna mengajaknya pulang?

"Kok malah bengong? Buruan." tegur Luna ketika Langit masih diam. Langit lalu mengangkat payung Luna, dan mereka berjalan beriringan ke arah gerbang sekolah.

Yang Luna tidak tahu, diam-diam saat itu Langit tersenyum, merasa senang karena Luna sudah mau berbicara lagi padanya―juga pulang bersama.

Yang Langit tidak tahu, Luna sengaja melakukannya sore itu. Ia tahu sore itu akan hujan, dan Langit pasti tidak membawa payung. Maka ia sengaja menungguinya, beralasan bahwa ia menghabiskan waktu di perpustakaan.

Setidaknya, ini mungkin bisa menjadi salah satu awal untuk berbaikan.

***

"Pagi, Kak Nusa."

Sapaan itu bukan dilontarkan oleh Mentari. Itu adalah sapaan dari Luna. Gadis mungil yang—bersama Langit—sedang berjalan perlahan mengimbangi Mentari yang berjalan tertatih. Gadis mungil itu menyapa Nusa dengan riang, seolah lupa kalau sampai kemarin lusa, ia sama sekali tidak akrab dengan kakak kelasnya itu.

"Pagi, Luna." Nusa menyapa balik. Lalu tanpa berbasa-basi, pemuda itu berkata, "Gue perlu bicara sama lo, Na."

"Oh, oke," Luna menoleh pada kedua sahabatnya—yang satu menatapnya dengan tatapan tidak suka, sementara yang satu terlihat jelas salah tingkah. "Kalian duluan aja, Ta, Ngit."

Mentari hanya mengangguk, sementara Langit berkata kalau ia akan mampir ke ruang OSIS terlebih dahulu. Keduanya lalu berpisah jalan—Langit ke ruang OSIS dan Mentari yang melangkah ke arah tangga kelas sebelas secepat kaki pincangnya bisa berjalan.

"Dia baik-baik saja?"

Luna menoleh pada Nusa yang menatap punggung Mentari dari kejauhan. Gadis itu mengerutkan kening, kenapa tidak bertanya saja saat Mentari tadi disini, coba? Kenapa harus pura-pura tidak peduli di depan gadis itu?

Langit, Bulan, dan MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang