Epilog

4.7K 222 42
                                    

Indah. Itu yang kesan pertama yang Luna tangkap di depan kafe malam itu. Lampu-lampu kecil dipasang sepanjang jalan dari taman menuju pintu depan. Dengan cahaya berkelap-kelip, Luna seolah sedang melihat langit malam yang dipenuhi bintang. Di pintu kafe, dipasang beberapa lampu putih yang lebih terang, namun cahayanya tetap memancar lembut.

"Bagus banget," gumam Luna saat mereka tiba di halaman kafe. "Ada acara apa malam ini?"

Kafe yang mereka datangi malam ini adalah kafe milik Langit dan Rendra yang mereka kelola sejak satu tahun lalu. Langit bilang, sebenarnya ia ikut mengelola kafe itu hanya karena tidak enak menolak Rendra. Rendra-lah sebenar-benarnya pemilik kafe, tapi Rendra bersikeras bahwa kafe itu adalah milik mereka berdua.

"Gak ada apa-apa," sahut Langit.

Luna menatapnya tak percaya. "Ini alasan lo berkali-kali nanya soal janji ke kafe malam ini?"

Langit tertawa, tetap tidak menjelaskan apa-apa pada Luna. Ia mengulurkan tangannya pada Luna, untuk menggandeng tangan gadis itu.

"Yuk," ajak Langit.

Luna menggeleng. "Nggak ah! Ntar penggemar-penggemar lo marah kalau gue gandeng lo."

Luna memekik tertahan ketika tiba-tiba Langit menarik tangannya, membuat Luna menubruk lengan pemuda itu. Luna merasakan embusan nafas Langit di telinganya ketika pemuda itu berbisik, "Gue nggak peduli kalau mereka marah. Karena gue lebih suka gandeng lo daripada gandeng mereka."

Wajah Luna merona merah. Rona merah yang selalu Langit suka.

Tangan Luna mendorong dada Langit, menjauhkan pemuda itu darinya. Selain karena khawatir Langit merasakan detak jantungnya yang semakin cepat, ia risih melihat tatapan orang-orang di sekitar mereka. Apalagi tatapan gadis-gadis yang sejak tadi memperhatikan dirinya dan Langit. Luna merasakan tatapan membunuh dari gadis-gadis itu.

Tiba-tiba ponsel Langit berdering. Pemuda merogoh saku jasnya untuk mengangkat telepon dan menyapa penelepon di seberang sana.

"Halo, Ta?" sapa Langit. "Gimana Belanda? ... Tapi kan bisa anget-angetan kalau ada si Pacar disana."

Luna tertawa mendengar sahutan Langit.

"Lo mikir kemana sih? Maksud gue, si Pacar kan pasti mau beliin coat buat calon Nyonya Nusa Pradipa." Langit juga tertawa sementara Mentari disana menggerutu kesal.

Mentari, yang sejak dua tahun terakhir menyambi kuliahnya dengan bekerja sebagai penyanyi—dipromosikan oleh Nusa dan Deru Hujan yang ikut terpana saat mendengar suara Mentari pertama kali—sedang melalukan syuting untuk video klipnya yang juga digunakan sebagai salah satu soundtrack dalam sebuah film yang akan keluar tahun depan.

Oh, tenang saja. Walau tidak ada satupun sahabatnya yang menemani, disana Mentari tidak sendiri. Ada sang pacar, Nusa Arkana Pradipa. Nusa, yang baru saja mendapat gelar magister itu, sudah sejak jauh-jauh hari berencana untuk menemani Mentari disana. Walau dua minggu sebelumnya, setiap hari, Nusa harus mendengarkan ceramah Langit lewat telepon yang menyebutkan banyak do dan don't. Nusa dengan tekun mendengarkan—tentu saja ia harus melakukannya kalau tidak ingin ijin dari Langit dicabut, dengan resiko si Mr. Bodyguard akan mengompori sang calon mertua untuk menahan restunya.

Langit menyodorkan ponselnya pada Luna, memberi isyarat kalau Mentari ingin bicara dengannya.

"Halo, Ta?"

"Langit lulus kan?"

"Kenapa lo nggak tanya orangnya aja?"

"Gue malas mendengar suara sombongnya dia!"

Langit, Bulan, dan MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang