Delapan Belas

1.9K 190 8
                                    

Matahari masih bersinar malu-malu pagi itu, bersembunyi di balik awan kelabu sisa-sisa hujan yang turun. Sejak tadi malam, hujan tidak berhenti. Semakin menderas ketika pagi datang. Untung saja tadi pagi Luna berangkat pagi-pagi, sehingga ia―dan Langit―bisa berangkat dengan Mentari tanpa harus kehujanan dan basah kuyup. Hujan baru berhenti ketika jam pelajaran ketiga berlalu. Menyisakan petrichor untuk dinikmati jam istirahat ini. Petrichor yang bisa dinikmati seandainya saja hujan tidak menyisakan dingin yang menyelimuti bumi.

"Na, lo nggak istirahat?"

Pertanyaan itu dikeluarkan Laila ketika melihat Luna yang setia duduk di bangkunya walau bel isitrahat sudah berbunyi sejak tadi. Mulanya Laila ingin bertanya kenapa Luna tidak menghabiskan waktu istirahat ini diluar―tapi siapa juga yang mau keluar dengan udara sedingin ini?

Tapi biasanya tidak begini. Sudah beberapa hari terakhir teman sebangkunya itu lebih sering duduk di kelas dibandingkan menghabiskan waktu di luar seperti biasanya. Iya, seperti yang biasanya. Yang biasanya melibatkan Langit dan Mentari yang duduk bersama Luna di kantin sekolah. Atau yang biasanya Langit dan Luna yang duduk di perpustakaan. Atau yang biasanya Luna duduk di tepi lapangan, menemani Langit bermain olahraga disaat jam istirahat. Yang biasanya Luna yang sering membawa bekal untuk Langit, Luna yang selalu dihampiri Langit saat pertandingan usai, dan Luna yang selalu mencuri perhatian lewat kedekatannya dengan Langit.

Laila menunggu jawaban Luna, tapi gadis itu tidak bergeming sedikitpun. Matanya tertuju ke naskah drama yang ada di hadapannya. Walau begitu, Laila bisa melihat kalau tatapan Luna kosong. Raganya disana, tapi jiwanya tidak.

"Na, Luna,"

Luna masih bergeming.

"Luna!"

"Ya?" Luna tersentak. Memberitahu Laila kalau sejak tadi Luna tidak mendengarkannya.

"Lo kenapa ngelamun?"

"Gue nggak ngelamun," sahut Luna. "Lo nanya apa tadi?"

"Lo gak keluar?"

"Lagi malas," sahut Luna sambil kembali memperhatikan naskah dramanya.

"Nggak ke Langit?"

Luna menggeleng pelan, membuat Laila mengernyit heran. Tumben?

"Lo nggak lagi berantem sama Langit 'kan?" canda Laila.

Diluar dugaannya, Luna diam. Tidak membantah atau mengelak. Membuat Laila menatap Luna tak percaya.

Serius? Luna sama Langit berantem? Dua manusia paling manis di angkatan mereka ini bisa bertengkar?

Belum sempat Laila bertanya, tiba-tiba Luna menutup naskah dramanya. Gadis itu lalu berdiri dari bangkunya, berpamitan.

"Gue keluar dulu, La."

Gadis itu melangkah keluar kelas, berdiri bersandar pada pagar pembatas lantai dua. Sekilas matanya menoleh ke arah kelas Langit yang berada disamping kelasnya. Tapi kelas itu terlihat sepi—sebagian besar penghuninya pasti sedang memenuhi kantin. Tatapannya beralih ke bawah, ke arah taman yang berada di depan gedung laboratorium, di sudut 90° dari kelasnya. Tanpa sengaja, matanya menangkap sesuatu.

Disana. Langit dan Mentari. Duduk berdua, mengobrol di bawah pohon asem. Keduanya terlihat berbicara dengan seru—setidaknya, dari raut Langit yang bisa dilihatnya, pemuda itu tidak menunjukkan raut sendunya. Pemuda itu—

Luna mengerjapkan mata. Meyakinkan penglihatannya tidak salah. Bahwa apa yang baru saja ia lihat bukan halusinasinya.

Langit tersenyum.

Langit, Bulan, dan MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang