Tiga Puluh Dua

2.6K 183 18
                                    

"Gue akui, pilihan lo tepat."

Senyum bangga (dan sombong) tersungging di wajah Langit, membuat Mentari menyesal memujinya. Tapi ia tidak akan menarik ucapannya. Malam ini, ia tidak menyesali persetujuannya atas pilihan Langit-atas gaun yang dipakai Luna malam ini. Iya, gaun itu adalah pilihan Langit. Ia sempat bedebat panjang dengan Langit tentang itu. Mentari sempat berkeras untuk meminta Luna memakai gaun dengan bawahan mengembang, tapi Langit bilang bahwa Luna lebih manis memakai gaun dengan bahan jatuh. Dan Mentari harus mengakui, gaun pilihan Langit membuat Luna terlihat anggun saat pemuda itu memutar tubuh Luna di tengah dansa mereka.

Mentari melirik beberapa orang yang mendekati Langit, memuji betapa memukau aktingnya diatas panggung tadi. Beberapa lagi memuji penjiwaannya terhadap karakter pangeran yang diperankannya. Yang lain memuji lagu-lagu yang dinyanyikannya. Langit tersenyum, mengucapkan terima kasih tanpa terkecuali pada Irvine, Marina, dan Sheila yang memasang raut kalau gue-malam-ini-available-buat-lo-yang tentu saja diabaikan oleh Langit.

Setelah orang-orang itu meninggalkannya, tatapannya kembali jatuh pada Luna yang sedang berdiri dengan Aysel di tepi ruangan. Gadis itu sudah berganti baju, dengan gaun biru selutut berpita putih di pinggangnya. Rambut sepunggungnya digerai, dengan jalinan kepang-kepang kecil menghiasi dari telinga ke belakang kepala.

"Gue rasa, lo terpesona sama Nana sampai-sampai lo gak bisa melepaskan tatapan lo,"

Langit bisa saja melotot galak pada Mentari atau sok cool dengan mengabaikan godaan gadis itu, tapi ia tidak melakukannya. Ia akui ucapan Mentari memang benar, dan ia tidak ingin menyangkalnya.

"Gue nggak heran kalau malam ini bakal ada cowok yang deketin Nana,"

Tatapan Langit menajam, "Jangan harap."

"Ya, ya, selamat menikmati peran lo sebagai bodyguard kalau gitu," ledek Mentari, menyindir terang-terangan. Langit hendak menyahuti Mentari ketika dilihatnya dari sudut mata kalau Nusa sedang mendekat ke arah mereka.

Sekarang atau nggak, Ngit. "Gue mau ngaku sesuatu,"

"Kalau ternyata lo suka Nana?"

Langit mendelik, lalu mendengus kesal melihat seringai jahil di wajah gadis itu.

"Dari dulu gue nggak pernah suka Haga-"

"-justru aneh kalau lo suka-"

"-gue selalu ngerasa, kalau Haga bukan cowok yang baik buat lo."

Mentari terdiam.

"Gue sama Nana selalu ngerasa kalau lo deserve better, Ta. Gue selama ini selalu nahan diri karena Nana selalu bilang kalau dia mau ngehargai keputusan lo. Maka itu pulalah yang gue lakukan-walau gue sempat menyesal kenapa nggak lebih keras sama Haga." Langit meliriknya sejenak. "Sori."

"You don't need to sorry."

"Sejak hari itu, gue berjanji sama diri gue sendiri, gue nggak akan ngebiarin lo-atau Nana-sembarangan lagi dideketin cowok." Langit melanjutkan ucapannya. "Dan kemarin, ada seseorang yang minta izin ke gue buat deketin lo. Baru satu kali ini, Ta, ada cowok yang minta izin ke gue. Haga aja nggak minta izin ke gue sebelum dia macarin lo. Haga, dan cowok-cowok lainnya yang berusaha ngedeketin lo. Baru yang satu ini, Ta."

"Siapa?" tanya Mentari retoris, karena ia sudah bisa menduganya. Ia hanya perlu diyakinkan. Dan seolah mengerti apa yang ada di benak Mentari, Langit mengucapkan satu nama.

"Kak Nusa."

Mentari tidak berteriak heboh atau kaget, memberitahu Langit secara tidak langsung kalau gadis itu sudah tahu soal perasaan Nusa padanya.

Langit, Bulan, dan MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang