Dua Puluh Satu

1.9K 171 3
                                    

Mentari berusaha fokus pada fokus pada baris-baris not yang ada di hadapannya. Namun seberapa keras ia berusaha, semakin keras juga otaknya menolak bekerja sama. Ia berdecak kesal, membuat empat pemuda yang ada di ruangan musik menoleh padanya.

Iya, berempat. Formasi mereka sudah lengkap kembali. Nusa sudah menyelesaikan ujiannya, tinggal menanti hasilnya. Pemuda itu juga berkata kalau ia sudah menyelesaikan pendaftarannya ke perguruan tinggi yang ia tuju, jadi ia bisa berlatih dengan santai.

"Ta, siap?" tanya Gara. "Kita ulang dari reff."

Mentari mengangguk, berusaha untuk fokus kembali. Gadis itu mulai bernyanyi, menyesuaikan dengan nada yang dimainkan teman-temannya.

Ada cerita tentang aku dan dia

Saat kita bersama, saat dulu kala

Ada cerita tentang masa yang indah

Saat kita berduka, saat kita tertawa

Saat awal-awal putus dengan Haga, Mentari sempat berpikir berulang kali kalau ini adalah lagunya dengan Haga. Waktu yang pernah mereka lewati, kenangan yang pernah mereka ukir, tawa yang pernah mereka bagi, dalam satu lagu. Tapi saat ini, Mentari rasa, lagu itu bukan untuknya dan Haga. Lagu itu adalah lagunya, Luna, dan Langit.

Mentari rindu pada kedua sahabatnya, sungguh rindu. Langit yang tengil dan selalu membuatnya kesal, juga Luna yang cerewet dan perhatian.

"Tari!"

Mentari mengerjapkan mata, tersadar bahwa sejak tadi ia berhenti bernyanyi. Gadis itu menggumamkan maaf, meminta agar latihan dilanjutkan. Tapi Gara menggeleng.

"Kenapa?" protes Mentari.

"Lo nggak fokus. Mending hari ini kita selesaiin latihannya,"

Mentari tidak membantah. Selain memang pikirannya tidak sedang disana, fisiknya juga mulai terasa lelah. Gadis itu membereskan barangnya, lalu mengikuti keempat remaja yang sudah beranjak keluar ruang musik. Tanpa diduganya, Nusa, yang sudah berjalan lebih dulu darinya, memelankan langkah dan menjajarinya.

"Lo kelihatannya banyak pikiran." celetuk Nusa.

"Banyak tugas," sahut Mentari, berbohong. Ia tidak ingin memberitahu Nusa apa yang sebenarnya ia pikirkan. Tidak ingin memberitahu Nusa kalau ia memikirkan kedua sahabatnya yang kemarin sore katanya bertengkar di koridor sekolah. Tidak ingin memberitahu Nusa kalau ia memikirkan teror-teror yang semakin sering mendatanginya. Terlebih, tidak ingin memberitahu Nusa kalau akhir-akhir ini, pemuda itu sering lancang muncul di pikirannya.

Tidak, yang terakhir memang bukan salah Nusa. Murni salah Mentari yang akhir-akhir ini semakin sering memeperhatikan Nusa dan menyimpan gerak-geriknya di kepala. Sayangnya, Nusa datang di pikirannya di waktu yang tidak tepat, di saat kepalanya sudah penuh dengan masalah lain dan saat kedua sahabatnya tidak bisa diajak bercerita. Dengan adanya Nusa disana, Mentari malah semakin tidak bisa berpikir jernih soal dua sahabatnya.

"Kenapa, sih?"

Mentari menoleh pada Nusa, "Apanya?"

"Lo," sahut Nusa. "Biasanya berisik, bawel. Hari ini pendiem banget. Lagi ada masalah sama pacar lo?" tanyanya dingin.

"Gue ada masalah sama pacar gue atau nggak, bukan urusan lo." ketus Mentari. Tapi tiba-tiba gadis itu mengernyit. Pacar? Ia kan—"Lagian gue nggak punya pacar!"

"Sahabat rasa pacar, mungkin."

"Gue nggak pacaran sama Langit!" Mentari melotot galak. "Gue nggak ada apa-apa sama dia!"

Langit, Bulan, dan MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang