Dua Puluh Tujuh

1.9K 152 6
                                    

Biru langit yang dihiasi putih awan yang berarakan menjadi pemandangan istirahat pertama Senin pagi itu. Desir angin yang bertiup lembut, daun-daun yang menari pelan, serta kicau burung di pohon-pohon akasia menambah riuh pagi di SMA Angkasa. Seriuh hati Mentari yang tak henti bersorak gembira tiap melihat Langit dan Luna yang bertengkar di hadapannya.

Oh, tidak benar-benar bertengkar, sebenarnya. Ini hanya kejadian seperti biasa—Langit yang menggoda Luna, dan Luna yang menggerutu dengan wajah yang merona merah. Pemandangan yang membuat Mentari tak henti tersenyum di pagi hari ini. Pemandangan yang menghilang dari hari-harinya selama beberapa minggu terakhir.

Ah, betapa menyenangkannya melihat mereka berdua berdamai.

Langit dan Luna menyadari itu, tentu saja. Mentari tidak berusaha menutupi senyumnya, gadis itu memamerkannya cuma-cuma. Langit dan Luna membiarkan, karena mereka sadar bahwa bukan hanya Mentari yang senang akan hal ini, tapi mereka juga.

"Jadi," Mentari menyela Langit dan Luna yang sudah mulai akan bertengkar lagi, "Lagu yang kemarin buat siapa, Ngit?"

Luna seketika menghentikan omelannya pada Langit, menatap pemuda itu penasaran.

Sejak Senin kemarin, gosip itu menyebar dengan cepat. Gosip tentang Langit yang menyanyikan lagu ciptaannya saat kelas kesenian. Lagu yang liriknya tentang seseorang yang jatuh cinta, yang memendam perasaannya dalam diam. Lagu yang membuat orang-orang penasaran, karena Langit menyanyikannya sepenuh hati. Lagu yang membuat Luna dan Mentari seharian kemarin diteror dengan pertanyaan bertubi, tentang untuk siapa lagu itu Langit ciptakan.

Langit tertawa kecil, sebelum menyeringai pada Mentari. Tanpa menjawab apapun.

"Ih, rese!" Mentari melemparkan kerupuk di piringnya ke Langit, membuat Langit tertawa.

"Ini lagu yang kemarin lo bikin, ya?" tanya Luna. Matanya menangkap Mentari yang mengerutkan kening, bertanya heran. Berbaik hati, Luna menjelaskan. "Kemarin Minggu gue ke rumah Langit, terus Langit kayak panik gitu pas gue nemu kertas-kertasnya yang penuh coretan. Gue curiga, kemarin itu dia lagi bikin lagu."

Mentari berpaling pada Langit, "Lagunya kayak apa, sih? Gue mau dengerin, dong!"

"No!" Langit seketika menolak sambil tawa.

"Ish, sok main rahasia-rahasiaan lo!" seru Mentari sebal.

"Langit ngeselin banget emang!" Luna menyahuti. "Lo harus tahu ya, Ngit, gara-gara sikap sok misterius lo itu, kemarin anak-anak pada nanyain ke gue, 'Langit lagi naksir cewek, ya?', 'Siapa sih, Na?', 'Masa lo gak tahu?'. Sampai-sampai gue dibuntutin Irvine, Marina, sama Sheila yang terus-terusan nanya, 'Lagunya bukan buat lo 'kan, Na?' "

Langit dan Mentari serempak tertawa.

"Harusnya lo bilang aja kalau lagunya buat lo, Na." celetuk Mentari di sela tawanya.

"Dan kehilangan ketenangan gue di sisa tahun terakhir gue? No, thanks." sahut Luna, membuat tawa Langit dan Mentari semakin keras. "Akhirnya gue bilang aja, gue gak tahu. Kalau mereka masih penasaran, mereka bisa tanya langsung ke Langit. Sayangnya oknum pelakunya gak masuk."

Langit menyeringai. Kemarin ia memang tidak masuk sekolah untuk ke rumah sakit, memeriksakan keadaan kakinya. Pemeriksaan terakhir, observasi menyeluruh. Teringatkan hasilnya, seringai Langit berubah menjadi senyum lebar.

Menyadari itu, Luna bertanya retorik, "Jadi, hasilnya ...?"

Riang, Langit mengepalkan tinjunya ke udara. "Basket lagi!"

Luna dan Mentari ikut tersenyum senang. Bagi Langit, berbulan-bulan tidak bermain basket pasti menjadi sesuatu yang menyiksa. Sama seperti perasaan ketika Luna tidak bisa menulis atau Mentari tidak bisa bernyanyi.

Langit, Bulan, dan MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang