Dua Puluh Lima

2K 161 11
                                    

Banyak persahabatan yang menjadi bertengkar, tidak saling tegur hanya karena hal sepele.

Tapi sahabat sejati, tidak ada pertengkaran yang akan memisahkan mereka. Mereka bisa melewatinya, saling minta maaf, untuk kemudian semakin erat persahabatannya.

―Tere Liye―

***

Dada Langit naik-turun. Helaan nafas terdengar teratur dari rongga hidungnya. Pemuda itu terlihat damai dalam tidurnya. Tadi siang Langit pingsan tak lama. Begitu teman-teman dan guru membawanya ke UKS, pemuda itu langsung sadar. Ia menolak untuk dibawa ke rumah sakit atau di rawat di UKS, jadi Luna membawanya pulang dengan taksi. Setibanya di rumah, pemuda itu langsung ambruk ke kasurnya begitu selesai mengganti seragamnya. Membuat Bunda kesusahan mengobati lukanya dalam keadaan tidur.

Luna membetulkan posisi selimut Langit yang turun ke perut. Ia menatap wajah Langit yang penuh dengan lebam biru. Di perut dan punggungnya, lebam itu lebih banyak lagi. Bunda sudah mengolesi lebam-lebam itu dengan salep, berharap semoga rasa sakit putra bungsunya akan berkurang. Sekarang Bunda sedang menyiapkan makanan untuk Langit.

Mentari masuk dengan buru-buru ke kamar Langit. Gadis itu baru saja tiba, terlambat mendengar kabar karena siang tadi dia latihan band. Di belakangnya, Nusa melangkah dengan raut datar. Luna tidak sempat bertanya kenapa Nusa bisa berada disana karena Mentari bertanya dengan panik.

"Langit nggak apa-apa?"

Luna menggeleng, tidak tahu. "Dari luar nggak ada yang parah. Lebam dan memar, selebihnya luka kecil. Tapi dari dalam, gue nggak tahu apa tulang dia ada yang retak atau patah. Dia nggak mau ke rumah sakit buat diperiksa."

Mentari memperhatikan kalau sambil bercerita, Luna menggigit bibirnya dengan gelisah. Gadis itu pasti merasa bersalah karena Langit terluka gara-gara melindunginya. Tapi Mentari merasa lebih gelisah ketika mendengar kalau ketiga preman yang memukuli Langit adalah orang-orang suruhan Haga.

Mentari menggigiti kukunya, tanda bahwa kegelisahannya sudah di puncaknya. Tiba-tiba ia berbalik, keluar dari kamar Langit. Luna tidak sempat bertanya kemana Mentari akan pergi, ketika tiba-tiba Nusa keluar dan mengejar Mentari. Pemuda itu menahan Mentari dengan memegang pergelangan tangan gadis itu.

"Mau kemana?" tanyanya.

Mentari menatap Nusa dengan gelisah, "Gue harus ketemu dia,"

"Gue ikut."

"Hah?" Mentari buru-buru menggeleng. "Nggak, ini urusan gue. Lo—"

"Gue ikut," Nusa bersikeras.

"Tapi—" Bukan Mentari tak ingin Nusa ikut dengannya. Ini masalahnya dengan Haga, ia tidak ingin melibatkan lebih banyak orang. Tidak Langit dan Luna, apalagi Nusa.

Nusa mengerti kalau ini bukan urusannya, tidak seharusnya ia terlibat jauh. Tapi ia juga tahu kalau sedikit-banyak ia punya andil dalam semua masalah ini.

"Gue tahu ini urusan lo sama dia, Mentari. Janji, gue nggak bakal ngapa-ngapain, cuma jagain lo dari jauh. Oke? Karena gue nggak yakin dia nggak bakal ngapa-ngapain lo kalau lo cuma ketemu berdua sama dia."

Mentari menatap Nusa ragu. Di satu sisi, ia tidak ingin membawa Nusa untuk bertemu dengan Haga. Di sisi lain, kalimat Nusa benar. Haga tidak mungkin membiarkannya begitu saja kalau mereka hanya bertemu berdua. Ia tidak bisa menjamin keselamatannya sendiri.

Baiklah. Mentari mengangguk. Ia akan membiarkan pemuda itu ikut dengannya.

***

Hal pertama yang tertangkap oleh retinanya adalah langit yang berwarna biru. Tak yakin, Langit mengerjapkan matanya. Ah, iya. Itu bukan langit dunia. Itu adalah langit-langit kamarnya. Perlahan ia juga bisa menangkap nuansa biru kamar tidurnya. Langit mengerang. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Semua ini gara-gara preman-preman yang di sewa Haga. Mereka memukulinya sekuat tenaga, tak ragu-ragu meski ukuran mereka dua kali lipat dari Langit. Seharusnya mereka tahu, bahwa dengan badan seceking miliknya, ia tidak bisa melawan sekuat tenaga. Hanya satu yang membuatnya melawan mereka mati-matian.

Langit, Bulan, dan MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang