Lima Belas

2K 162 2
                                    

Bel pulang sudah berbunyi sejak tiga menit yang lalu. Langit sudah berdiri di pintu kelas Luna sejak dua menit yang lalu. Dan Luna sudah mengomel sejak satu menit yang lalu.

"Lo kenapa gak pulang duluan aja sih!?" gerutu Luna ketika Langit terus menyuruhnya untuk buru-buru. Gadis itu sedang menyalin tulisan terakhir di papan tulis—yang tadi ditulisnya atas perintah pak Denis sementara sang guru mengikuti rapat guru mata pelajaran. Ia masih sibuk, sedangkan Langit harus sudah di rumah tiga puluh menit lagi, mengambil pakaian basketnya yang tertinggal dan kembali ke sekolah dalam waktu satu jam, sementara jarak tempuh dari rumah ke sekolah mereka tidak dekat.

"Gue kan pingin pulang bareng lo."

Luna mendengus mendengar kata-kata gombal Langit, membuat pemuda itu tergelak. Luna selalu saja tidak bisa diajak bercanda soal hal menjurus seperti itu.

"Udah nih!" seru Luna ketika kata terakhir selesai ia tuliskan di bukunya. Ia segera membereskan barangnya yang berserakan. Melihat Luna tidak akan selesai membereskan barang-barangnya dalam waktu satu menit, Langit menghampirinya dan membantunya memasukkannya ke dalam tas.

"Thanks," ujar Luna.

Untuk sedetik mata mereka bertemu, menghentikan waktu di detik dimana Langit sedang menatap Luna lekat-lekat. Luna segera berdeham, mencegah Langit untuk menenggelamkan Luna dalam tatapannya. Gadis itu menyampirkan tas di bahunya, mendorong ransel Langit agar pemuda itu berjalan keluar kelas. Keduanya berjalan beriringan ke parkiran motor. Namun langkah mereka terhenti ketika seseorang memanggil Langit.

Langit berbalik, melihat Marina menghampirinya. Dengan senyum—yang menurut Langit terlalu lebar dan sumringah, gadis itu mendekati mereka. Ralat, mendekatinya. Karena ternyata Luna sudah menghilang sejak Marina memanggilnya. Langit menoleh mencari dan mendapati Luna sedang mengobrol dengan Nino, tiga meter di belakangnya. Langit melihat Nino mendelik padanya. Tapi ada yang lebih penting daripada Nino saat ini. Ia harus berusaha bersikap ramah pada Marina.

"Ada apa?"

"Aku ada sesuatu buat kamu,"

Kenapa gadis-gadis ini selalu bertindak kelewat sopan sih jika bicara dengannya? Padahal Langit akan lebih suka jika mereka berbicara dengan sapaan lo-gue saja. Itu lebih ... memberikan jarak? Tidak seakrab panggilan aku-kamu.

Marina menyodorkan sebuah kotak padanya, yang Langit yakin isinya adalah coklat. Langit menerimanya sambil mengucapkan terima kasih. Setelah berbasa-basi sejenak, ia memutuskan pembicaraannya dengan Marina. Bukan hanya karena ia tidak ingin berlama-lama memberikan kesempatan untuk Marina mengobrol dengannya, tapi dilihatnya dari sudut mata Nino sudah melambaikan tangan pada Luna.

"Nino melotot tuh tadi," ujar Luna ketika Marina sudah pergi dan Luna sudah disampingnya lagi.

"Lo pikir gue gak liat?" gerutu Langit. "Gara-gara lo sih, ninggalin gue sendiri sama Marina,"

Luna tertawa, "Kan gue memberikan kesempatan supaya Marina bisa pedekate sama lo,"

Langit mencibir. "Gue boleh nanya sesuatu gak, Na?"

"Ya?"

"Kenapa lo selalu menghindar kalo ada cewek yang deketin gue?"

Kening gadis itu berkerut. "Maksudnya?"

Langit membuang nafas. Beginilah kalau ia bertanya serius pada Luna. Gadis itu selalu berpura-pura tak mengerti, atau memang tak mengerti betul pertanyaannya.

"Kayak tadi. Pas Marina nyamperin gue. Lo memisahkan diri, padahal kita lagi jalan bareng, mau pulang bareng. Kenapa?"

Jika gadis itu terkejut dengan pertanyaannya, maka Luna menyembunyikannya dengan baik. Wajah gadis itu sedikitpun tidak menunjukan ekspresi apapun. Melihat itu, Langit memutuskan untuk menggodanya

Langit, Bulan, dan MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang