DUA BELAS

648 24 2
                                    

Setelah kejadian kemarin. Andre difonis terkena kanker otak. Dylan dan Bela sudah sepakat untuk mengurus Andre secara bergantian. Karena Andre sudah tidak punya siapa siapa lagi selain mereka.

Tepat jam 14:00. Bela mencari Andre ke ruangannya. Ternyata ia tak ada disana. Bela mulai panik. Ia bertanya kepada suster yang sedang lewat.

"Sus, pasien kanker otak disini dimana ya?", tanya Bela.

"Sudah dipindahkan ke Paviliun mbak", ucap Suster tersebut.

Bela mengucapkan terima kasih, kemudian berlari menuju paviliun tempat Ibunya dirawat.

"Hai Ma", sapa Bela.

Desy hanya tersenyum.

"Sudah makan?", tanya Bela.

Desy mengangguk.

Bela mencium kening Desy. Kemudian Desy memberikan sepucuk surat untuk Bela. Bela izin keluar untuk membaca surat itu.

Bela duduk di dekat taman disana. Sepatah demi sepatah ia baca. Air matanya mulai membanjiri pipinya. Ia berusaha menahannya tapi tak bisa.

"Bela anakku sayang. Seharusnya Mama yang merawat kamu. Kamu sudah sangat besar dan dewasa ya! Mama bangga denganmu. Sehat terus ya Nak. Maaf Mama belum bisa menjadi Ibu yang baik dan selalu merepotkan mu. Mama harap Papa segera mengunjungi kita. Dan segera menjadi keluarga bahagia seperti dulu. Sekian. Salam sayang Mama untuk Bela"

Isi surat itu membuat Bela terharu. Ternyata Ibu nya masih mengharapkan seorang suami yang tak tau diri seperti Ayahnya. Padahal Bela berharap setelah sadar dari koma, Ibunya bisa melupakan Ayahnya. Tapi ternyata ia salah, Ibunya malah semakin berharap.

Bela melipat surat itu. Dan menangis.

"Lo kenapa?", tanya Dylan yang entah sejak kapan berada dibelakang Bela.

Bela sedikit terkejut, "Enggak papa", dusta Bela.

"Gak ada perempuan yang gak papa saat menangis", ucap Dylan. "Boleh gue duduk?", sambungnya.

Bela hanya terdiam. Berusaha mengusap air matanya.

"Yaudah gue duduk", ucap Dylan yang segera duduk disebelah Bela.

Dylan melirik surat yang Bela bawa.

"Itu apa?", tanya Dylan.

"Kertas", jawab Bela.

"Boleh gue liat?", tanya Dylan.

Bela memberikan surat itu kepada Dylan. Dylan membacanya perlahan, kemudian melipat surat itu kembali. Ia melirik ke arah Bela.

"Memangnya, Ibu lo kemana?", tanya Dylan.

"Sakit", jawab Bela.

"Jadi, sewaktu gue ketangkep satpam itu, lo lagi jenguk nyokap?", tanya Dylan.

Bela mengangguk, "Saat itu dia koma. Setelah sadar, ia dipindahkan ke paviliun karena gak punya tempat untuk ditampung", ucap Bela.

"Jadi lo gak--", ucapan Dylan terpotong.

"Gue punya rumah. Hanya saja sedang ada konflik", sambung Bela.

"Maksud surat ini apa?", tanya Dylan.

Bela menatap Dylan lekat lekat.

"Mama sama Papa pisah Lan. Bukan cerai atau apa. Mereka masih hubungan suami-istri. Tapi, Papa ninggalin Mama karena Mama gak bisa ngasih Papa keturunan laki laki. Dan Papa ternyata selingkuh sama sekretarisnya, ia juga lebih memilih nikah lagi sama sekretarisnya di kantor. Keluarga Mama dan Papa saling bermusuhan karena masalah perusahaan", jelas Bela sambil menangis. Tanpa sadar, kepala Bela sudah berada di pelukan Dylan.

LateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang