--- Enam

17 0 0
                                    


"Kami tadi tidak jadi ke masjid dekat Karyadi, Fi." Alya bercerita sore harinya. Dia pulang sekitar jam setengah dua, ketika aku tidur siang. Jangan berpikir kerjaanku seharian hanya tidur terus, oke? Karena tadi pagi setelah Alya berangkat, aku tidak tidur. Hanya tidur-tiduran, alias malas-malasan. Tapi tidak lama kok. Aku ingat kalau aku punya banyak pakaian kotor yang harus dicuci. Jadi aku memutuskan untuk mencucinya. Lalu mandi. Lalu -ehm- sholat dhuha. Kemudian tidur-tiduran lagi. Hehe.

Setelah sholat dhuhur baru aku tidur betulan. Sampai Alya pulang pun aku tidak tahu. Aku curiga tadi Alya bertingkah seperti maling yang berusaha tidak menimbulkan suara sekecil apapun, makanya aku tidak terbangun ketika dia membuka pintu, berganti pakaian, dan lain-lain. Tahu-tahu, ketika aku bangun, aku mendapati Alya yang juga sedang tertidur.

Oke, lupakan tentang tidur. Aku sudah ingin mendengar cerita Alya tentang kajian yang dia ikuti hari ini.

"Loh terus ke mana?" tanyaku penasaran.

"Ternyata di Masjid Undip Tembalang ada Kaisar. Jadi di tengah jalan kami memutuskan untuk ke sana saja," jelasnya.

"Kaisar? Kaisar Raditya yang artis itu?" aku memastikan apakah yang dia maksud adalah artis yang beberapa waktu lalu naik daun setelah menggawangi acara talkshow di salah satu stasiun tv swasta itu atau bukan.

"Iya. Hehehe," Alya terkekeh. Aku hanya geleng-geleng kepala. Saat itu aku belum tahu kalau Kaisar ini sudah berhenti dari acara talkshow itu. Tapi yang pasti, yang namanya artis, masih jadi artis banyak fans-nya, sudah hijrah pun tidak berkurang juga penggemarnya. Mungkin mereka yang hadir adalah orang-orang yang penasaran dengan kisah hijrah si Kaisar itu.

"Tapi, Al. Memangnya boleh seperti itu?" aku heran karena Alya tiba-tiba batal hadir di kajian yang satu lalu hadir di kajian yang lain.

"Boleh seperti itu apa?"

"Ya itu. Kamu tidak jadi datang yang di Karyadi terus malah ke Undip?"

"Ya boleh dong, Fi. Memangnya siapa yang melarang? Orang dua-duanya sama-sama gratis, bebas dong kita milih yang mana?"

"Lah memangnya ada yang bayar?" aku lebih penasaran lagi sekarang.

"Ada. Kalau acaranya di gedung atau aula kan ada biaya sewa, nah itu biasanya ada harga tiket masuknya atau HTM seperti acara seminar pada umumnya. Yang salah satunya adalah untuk bayar sewa gedung itu. Tapi kalau di masjid biasanya gratis. Seperti yang aku ikut tadi,"

"Jadi kalau bayar baru harus datang, ya?" simpulku asal. Yang tidak diduga adalah Alya tertawa mendengar kesimpulanku yang aku ucapkan dengan lirih tadi.

"Kenapa tertawa, Al?" tanyaku heran. Tapi Alya tidak kunjung menghentikan tawanya.

"Alya!" kesal juga lama-lama aku.

"Ya habis kamu polos banget, Fia," ucap Alya kemudian di sisa-sisa tawanya. Aku masih kesal dan Alya baru saja mengataiku polos. Manyunlah mukaku.

"Kalaupun bayar, tetap saja boleh tidak datang, Fi. Toh itu hak kita. Panitia juga tidak akan mewanti-wanti untuk wajib datang. Tapi masalahnya, memang kamu tidak sayang, sudah bayar malah tidak datang?"

"Ya sayang lah," jawabku cepat.

"Nah, itu,"

"Memangnya tidak boleh diminta lagi uangnya?"

"Ya kalau kamu tidak malu saja," jawab Alya yang aku simpulkan bahwa hal itu –meminta kembali uang yang sudah dibayar untuk ikut kajian-- adalah hal yang memalukan. Jadi jangan pernah dilakukan. Semoga saja kesimpulanku kali ini benar.

Ingin Dicintai-NyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang