--- Sembilan

8 0 0
                                    

"Temanku yang kuliah di Unibraw itu, emm mungkin lebih tepatnya aku sebut kenalan kali ya, Fi. Namanya Tama. Seperti yang aku katakan, Fi, dia aktivis rohis di sana. Mungkin semacam UKKI kalau di kampus kita." Lagi-lagi setelah makan malam. Alya bercerita tentang seseorang yang dia sebut sebagai teman itu tanpa diminta. Aku yang memang sudah penasaran langsung mengambil posisi siap untuk mendengarkan. Duduk bersila menghadap Alya. Dengan bantal di pangkuan, amunisi kalau-kalau dia membuatku kesal.

"Tunggu dulu, Al. Ngomong-ngomong UKKI itu kepanjangannya apa ya?" aku menyela sebelum Alya melanjutkan.

"Unit Kegiatan Kerohanian Islam," jawab Alya.

"Oh seperti Eksis ya?"

"Yap,"

"Bedanya dengan Eksis apa?"

"Sama saja, Fi. Sama-sama lembaga dakwah kampus. Bedanya hanya di cakupannya. Eksis itu hanya di tingkat fakultas. Sedangkan UKKI di tingkat universitas. Dan untuk namanya bisa jadi beda-beda di tiap perguruan tinggi," jelas Alya. Aku mengangguk paham.

Pantas saja selama ini yang familiar di telingaku adalah Eksis, yang merupakan LDK di fakultas kami. Sedangkan UKKI mungkin dulu ketika awal-awal masuk kuliah sering terdengar namanya. Karena semua mahasiswa baru diwajibkan mengikuti mentoring selama satu tahun, dan mentoring ini kalau tidak salah adalah gawenya UKKI. Tapi semakin lama aku justru semakin tidak mendengar namanya. Penyebabnya ya karena saat itu aku tidak tertarik dengan kegiatan-kegiatan kerohanian atau keagamaan. Kecuali kegiatan yang memang diwajibkan.

"Oke. Jadi si Tama-Tama ini, dia teman apa kamu? Serius lho, Al. Aku benar-benar belum pernah dengar kamu cerita tentang seseorang yang namanya Tama ini. Benar kan? Aku sedang tidak lupa?" Aku memastikan. Alya mengangguk membenarkan.

"Memang aku belum pernah cerita kok, Fi. Aku juga baru kenal beberapa bulan ini. Tidak sengaja juga kenalnya," ujar Alya santai.

"Jangan bilang kenal di medsos?" Sanggahku cepat. Alya tidak langsung menjawab. Sampai beberapa detik kemudian dia malah tersenyum kecil. Yang itu kuartikan sebagai benar.

"Iya, Al?" aku memastikan. Tapi Alya masih saja hanya tersenyum.

"Di facebook ya?" Tuntutku tidak sabar. Aku menebak asal karena Alya seperti sengaja berlama-lama dengan ceritanya.

Alih-alih menjawab dengan "iya" atau semacamnya, Alya yang semula hanya senyum-senyum tidak jelas kini terkekeh mendengar sangkaanku. Yang itu berarti memang iya.

Terang saja aku kaget. Tidak menyangka Alya bisa mengalami hal semacam itu juga. Berkenalan dengan stranger di media sosial? Oke, aku pun pernah mengalami hal itu juga. Tapi itu sudah bertahun-tahun lalu. Ketika masih menjadi ABG labil yang mudah terlampau excited dengan sapaan "Hi" dari orang yang mengajak berkenalan di dunia maya. Sungguh sudah tertinggal sangat jauh di belakang, bagiku.

Jangan samakan Alya dengan dirimu yang dulu itu, Fi. Alya jelas lebih dewasa dalam menyikapi berbagai hal. Jadi pasti tidak sembarang dia mau berkenalan dengan orang itu.

Benar. Dengan sikap dewasanya, ditambah pemahaman Islam yang dimilikinya, akan terdengar seperti orang tidak punya kerjaan jika perkenalannya dengan si orang asing itu tidak membawa sesuatu yang bermanfaat untuk Alya sendiri.

Yah, pantas saja awalnya dia seperti enggan bercerita.

"Kok bisa sih, Al? Kalau ternyata dia orang jahat bagaimana? Untung dia aktivis islam. Jadi bagaimana kronologisnya bisa sampai kenal? Dia temannya teman kamu? Atau bagaimana?" Berondongku. Aku tidak sabar menunggu ceritanya.

Ingin Dicintai-NyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang