Malamnya, aku masih terngiang-ngiang tentang angka satu dan agama. Apa yang harus aku lakukan agar bisa memiliki angka satu untuk agamaku?
Aku dan Alya baru selesai makan malam dan sedang sibuk dengan HP masing-masing. Aku dengan aplikasi instagram dan Alya dengan facebook-nya.
Dulu ketika belum mendapat pencerahan dari Alya tentang islam, news feed instagramku hanya berisi akun orang-orang yang aku idolakan seperti Bambang Pamungkas. Oh, apakah aku sudah pernah mengatakan bahwa aku sangat menyukai Bambang Pamungkas sejak SMP? Ya, hobiku dan Riri menonton sepak bolah membuatku menyukai salah satu penyerang terbaik Indonesia ini.
Namun sejak aku dekat dengan Alya dan dia yang dengan mudahnya mempengaruhiku untuk berubah, aku mulai mengikuti akun-akun dakwah. Aku harus sangat bersyukur karena di saat aku ingin memulai hal baik ini, ternyata di saat bersamaan sedang bertumbuh banyak sekali komunitas dakwah anak muda yang di antara aktivitasnya adalah dengan membuat akun dakwah di media sosial. Untukku, mereka sangat-sangat membantu.
Aku masih asik men-scroll feeds instagram, membaca satu demi satu postingan akun-akun dakwah yang aku ikuti yang kebanyakan berisi kata-kata bijak, kata-kata para tokoh islam, bahkan sampai ayat Alquran dan hadits. Banyak hal yang baru aku ketahui yang aku dapat dari sana.
Sampai jemariku berhenti di salah satu postingan tentang angka satu dan agama bagi wanita. Tentang wanita yang bernilai nol jika tidak beragama dengan baik. Tentang angka nol yang berarti tidak ada nilainya. Sebuah kalimat indah tapi menusuk dari Al Khawarizmi, penemu angka nol yang adalah ilmuwan islam yang tidak banyak orang ketahui.
Ah, lagi-lagi tentang ini. Sudah kubilang aku masih terngiang-ngiang sejak selesai menonton film itu tadi. Sekarang harus melihat postingan seperti ini. Semesta seperti sedang diperintahkan Allah untuk semakin menggelisahkan hatiku.
"Fia," panggil Alya ketika aku masih sibuk berpikir entah apa. Aku mendengar panggilannya, tapi aku hanya berdehem sebagai jawaban. Tapi dia seperti tidak puas karena kemudian memanggil sekali lagi.
"Ada apa?" tanyaku malas. Heran, biasanya juga dia mau bicara tinggal bicara saja kok ini sampai panggil-panggil nama segala.
"Ahad besok ada kajian di masjid dekat Rumah Sakit Karyadi. Ikut yuk," ajak Alya.
Aku langsung menatap Alya tidak percaya. Sebelum menjawab, otakku sontak memikirkan banyak hal. Ini serius Alya ngajak aku kajian? Pengandaian-pengandaian yang berbau kekhawatiran. Kalau aku ikut, nanti bagaiman? Kalau aku ikut, pasti malu. Kan yang datang pasti orang-orang yang sudah biasa ikut kajian. Sudah saling kenal. Bahkan mungkin terdaftar juga. Dan berbagai kekhawatiran lain yang seharusnya tidak perlu dipusingkan.
Kekhawatiran yang terlalu dini, memang. Bagaimana tidak? Aku belum pernah membahas tentang kajian dengan Alya. Dia belum pernah menceritakan tentang kajian itu bagaimana mana, suasananya seperti apa, dan lain-lain. Dan dia belum pernah menjanjikan akan mengajakku kajian suatu saat nanti.
"Emmm... Kamu mau ikut, Al?" tanyaku ragu.
"Insyaallah. Ayo ikut,"
"Sama siapa?" tidak mungkin Alya pergi sendiri, kan?
Mungkin-mungkin saja sebenarnya.
"Sama Hilda. Kamu ikut ya, Fi?"
"Emm....," aku menggantung kalimat yang akan aku ucapkan. Alya menatapku menunggu jawaban.
"Ng..ng.. Aku tidak ikut ah, Al," jawabku kemudian. Jangan heran. Saat itu aku memang belum pernah sekalipun ikut kajian. Saat itu yang kutahu pengajian ya yang biasa saja. Pembahasannya itu-itu saja. Jamaahnya kebanyakan orang yang sudah sepuh. Dan jujur saja, pengajian yang seperti itu memang kurang menarik bagi anak muda. Iya, kan? Oh atau hanya aku saja yang tidak tertarik? Baiklah. Memang aku saja yang tidak tertarik. Dan ini menjadi hal yang sangat aku sesali di kemudian hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ingin Dicintai-Nya
EspiritualApa yang akan kalian lakukan jika mengalami kegelisahan? Berjalan mondar-mandir tanpa henti? Atau mengusap wajah berkali-kali? Sayangnya, Alifia Putri Rinanti merasa kegelisahannya tidak akan hilang hanya dengan berjalan mondar-mandir dan mengusap w...