--- Lima Belas

3 0 0
                                    

"Mau beli makan apa kita, Fi?" tanya Alya. Aku diam saja tidak menjawabnya. Seharian ini memang aku mendiamkan Alya. Biar saja. Supaya dia tahu kalau aku benar-benar sebal dengan perbuatannya semalam.

"Cie yang masih marah," ujar Alya yang tetap aku diamkan. Alya yang merasa lagi-lagi tidak mendapat jawaban malah terkekeh.

"Sudah si, Fi, marahnya. Tidak lelah apa sejak pagi cemberut terus?" aku melirik Alya, kemudian memalingkan wajah dengan mendengus keras. Yang tidak aku duga adalah Alya yang tiba-tiba saja mencubit pipiku.

"Apa-apaan si kamu? Sakit tahu," ucapku sambil mengelus pipi kiriku yang dicubit Alya.

"Hahaha. Habis gemas. Tahu tidak, marah kamu itu bukannya membuat orang takut, Fi. Tapi malah lucu," katanya.

"Memangnya aku badut?" protesku. Sementara Alya masih melanjutkan tawanya.

"Dan aku bukan bayi yang bisa kamu cubit-cubit seenaknya,"

"Iya. Kamu memang bukan bayi. Kamu kan perempuan muslimah calon bidadari dunia," balas Alya.

"Diaminkan dong, Fi. Doa lho itu tadi,"

"Sudah,"

"Kapan?"

"Tadi,"

"Mana ada? Aku tidak dengar,"

"Di dalam hati," jawabanku membuat Alya melengos.

"Oke, oke. Aku minta maaf, ya. Sudah bajak obrolan kamu sama Reza," ucap Alya pada akhirnya.

"Dimaafin tidak?" tuntut Alya karena aku tidak kunjung menjawab.

"Iya," jawabku lirih. Aku yang masih lemah iman ini mudah sekali dibujuk.

"Kamu kok tidak bertanya kenapa aku melakukan itu?"

"Nanti saja tanyanya. Kalau sudah tidak kesal lagi," lagi-lagi Alya terkekeh mendengar jawabanku.

"Lama ah, kalau nunggu kamu tanya. Lagipula kamu pasti sudah bilang pada Reza kan, kalau itu aku?" kata Alya.

"Sudah lah. Aku tidak akan membiarkan dia terlalu lama menganggap bahwa yang mengatakan hal-hal yang aneh itu aku."

Aku memang sudah mengatakan pada Reza. Klarifikasi tentang chat semalam yang bukan aku yang melakukan. Aku jelaskan sejak chat yang mengatakan ingin bertanya, itu Alya, bukan aku. Reza bilang dia sudah curiga sebenarnya kalau itu bukan aku. Karena aneh, tidak seperti biasanya. Gaya bahasanya pun beda. Meskipun Alya juga paham seperti apa gaya bahasaku dalam mengetik pesan karena aku sering juga chatting dengan Alya kalau kami sedang tidak bersama, dan itu berusaha diterapkan Alya ketika pura-pura menjadi aku semalam, tapi tetap saja akan terasa beda.

Syukurlah Reza tidak memperpanjang masalah itu. Karena begitu aku mengalihkan pembicaraan, dia langsung menanggapi dengan baik yang membuat obrolan kami kembali seperti semula. Debat, tentunya.

"Aku hanya penasaran, Fi, sama Reza. Kamu tahu sendiri kan, di kelas kita, yang paling sholih atau sholihah sekalipun seperti Triyas, aku yakin mereka semua bisa sampai di tahap itu karena melalui proses hijrah. Begitu juga dengan Reza, kan?"

Aku mengangguk. Alya benar, teman-temanku yang saat ini bisa kukatakan sholih atau sholihah, mereka dulunya biasa saja. Bukan alumni pondok pesantren dan bukan juga dari keluarga yang religius. Seperti Triyas yang disebut Alya. Dulu ketika SMK, dia malah belum memakai kerudung. Tapi begitu masuk kuliah aku dikejutkan dengan penampilannya yang luar biasa dengan hijab lebarnya. Ada juga Sofia. Kata Oca yang satu sekolah dengannya, Sofia ini malah dulunya tomboy. Sampai suatu saat datang ke sekolah dengan kerudung lebar, dia sempat dipanggil gurunya karena dikira terpengaruh aliran sesat.

Ingin Dicintai-NyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang