10 - Buku

201 58 35
                                    

"Tumben lo ga langsung pergi." Jangjun yang baru saja datang tentu saja heran melihat kelakuan teman perempuannya hari ini. Biasanya Jinsoul akan menghindar agar tidak tertimpa kesialan, tetapi kini perempuan itu hanya diam sambil memainkan ponselnya. "Lagi kangen sama dia, ya?"

"Enggak, lah,"

"Gue belum bilang siapanya, kan, kenapa lo udah geleng-geleng aja?" tanya Jangjun. "Ketauan, kan, lo lagi kangen sama dia,"

"Siapa juga yang kangen?" Jinsoul membantah pernyataan temannya. "Tapi tumben lo ga sama temen lo itu. Ke mana dia?"

"Tuh, lagi ngobrol sama temennya." Telunjuk Jangjun mengarah ke satu perkumpulan yang tengah menempati meja di sudut kantin. "Kenapa emang? Kangen?"

Jinsoul menggeleng. "Dia minta ditemenin beli buku sama gue. Gila apa, udah mau ujian tapi bukunya ga ada,"

Mendengar penjelasan dari si perempuan, Jangjun tertawa. Entah ia memang sereceh itu atau sedang teringat sesuatu. Untunglah Jinsoul sudah maklum dengan keanehan temannya. Kalau tidak, mungkin satu detik kemudian akan ada berita bahwa mahasiswa bernama Jangjun telah tersleding ke planet sebelah.

"Lo ga tau, ya, itu buku ke mana?" Jangjun mengubah posisi duduknya, kemudian lanjut bercerita. "Bukunya ketuker sama punya Jun,"

Melihat temannya kebingungan, ia langsung memperjelas siapa yang dimaksud. "Jun kating, bukan Jun yang suka beli jus mangga,"

Rintik hujan mulai membasahi bumi. Jangjun yang tadinya ingin melanjutkan cerita terdiam sejenak, teringat dengan nasib motor dan helm tempurung kesayangannya.

"Bentar, gue mau mindahin motor." Lelaki itu bangkit dari duduknya, tapi dicegah oleh Jinsoul.

"Ngapain? Motor lo, kan, di parkiran, ga bakal kena hujan,"

"Oh iya, lupa gue." Derai tawa menyertai kembalinya Jangjun ke bangku kantin. Ia kembali melanjutkan ceritanya. "Besoknya dia balikin itu buku, tapi Jun ga bawa bukunya. Katanya, sih, tiba-tiba ga ada di rumah,"

Jangjun mendekatkan wajahnya sebelum menanyakan sesuatu. "Terus lo tau ke mana bukunya?"

"Enggak, lah, orang gue bukan emaknya,"

"Dijadiin bungkus gorengan sama bokapnya,"

Dalam hitungan ketiga, akan terdengar derai tawa dari seorang manusia dengan selera humor memprihatinkan.

Satu,

dua,

tiga.

Ya, Jangjun benar-benar tertawa. Jinsoul juga ikut tertawa, untungnya ia cepat sadar kalau cerita ini sama dengan apa yang diceritakan Luda kemarin.

Perempuan yang tinggal di belakang rumah Jun itu menceritakan bagaimana bisa Heechul-ayahnya Jun-menjadikan buku sebagai bungkus gorengan. Usut punya usut, buku itu disumbangkan kepada penjual gorengan yang biasa mangkal di depan perumahan. Sayangnya, saat itu Luda tidak menyebutkan identitas pemilik buku yang disumbangkan kepada penjual gorengan. Padahal Jinsoul dan Jihyo sudah berencana patungan untuk membelikan buku baru.

Kini Jinsoul bersyukur karena batal patungan, sebab yang kehilangan buku adalah musuhnya. Tapi mau tak mau, ia harus ikut membantu mencari buku baru.

"Sayang." Panjang umur, orang yang tengah dibicarakan mendatangi mejanya. "Jadi beli buku, ga?"

Sebentar, ini yang mau cari buku siapa, yang ditanya siapa.

Jinsoul diam. Biarkan saja, biarkan lelaki itu menghabiskan waktu untuk menunggu jawabannya. Sengaja ia tidak menjawab karena yah, bawaannya ingin mengumpat terus kalau berhadapan dengan musuh sendiri.

"Kalau cewek diam, berarti dia setuju,"

Satu kalimat dari Jangjun Teguh merusak rencananya.

Setengah hati Jinsoul bangkit dari bangku. Mau tidak mau, ia mengikuti langkah Taeyang dan lagi-lagi, berada di rangkulan lelaki itu. Untung saja bus datang dengan cepat sehingga ia tidak perlu dirangkul lebih lama lagi.

"Sayang, kita udah sampai,"

Si perempuan membuka mata, memastikan kalau apa yang barusan ia dengar bukanlah kebohongan. Benar, kini bus tengah berhenti di halte, tapi bukan halte ini yang menjadi tempat pemberhentian mereka.

"Lo mabuk apa gimana? Kenapa turunnya di sini?" Jinsoul melayangkan pertanyaan usai turun dari bus. Pertanyaan itu dibiarkan tidak terjawab oleh Taeyang yang kini merangkulnya.

Baru setelah mengulang pertanyaannya 26 kali, si lelaki menjawabnya.

"Gue ga mau lo kecapean kalau harus naik tangga. Tau sendiri, kan, itu tangga setinggi apa,"

"Jawab, kek, dari tadi," gumam Jinsoul sebelum ia bertanya lagi. "Kenapa lo baru jawab abis gue nanya yang ke-26?"

Taeyang berhenti sejenak di bawah halte dan melepaskan rangkulannya. Ia menatap Jinsoul sejenak sebelum merapikan rambut perempuan itu yang berantakan karena angin kencang.

"Lo mau tau kenapa?" Ia melanjutkan langkahnya sambil bergandengan tangan dengan si perempuan. Pertanyaan itu dibalas dengan anggukan, namun baru terjawab ketika mereka sedang menyeberangi rel kereta.

"Soalnya gue mau kita jadian tanggal 26,"

Hampir saja Jinsoul mengeluarkan sumpah serapah kalau ia tidak ingat mereka sedang ada di mana. Perempuan itu menghela napas. Sepertinya ia perlu memenuhi pikirannya dengan data buku yang akan dibeli agar tidak kepikiran tentang ajakan jadian dari musuhnya.

✭✭✭


















a/n

adakah yang merindukan atau menunggu buku ini? hehehehe

born haterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang