Hari terakhir di bulan Desember, sudah jelas kalau semuanya sibuk. Ada yang sibuk di rumah seperti Dawon. Ada yang sibuk menghindar dari rumah seperti Luda. Ada yang sibuk menghabiskan akhir tahun bersama gebetan seperti Jihyo. Ada pula yang sibuk memikirkan alasan mengapa ia mau saja menghabiskan hari terakhir Desember dengan musuh sendiri.
Jinsoul bersandar di sofa sambil memainkan ponselnya. Hari masih siang, namun ia sudah rapi. Seniat itu dirinya sampai rela memakai jaket denim yang hanya dipakainya di saat-saat tertentu. Padahal ini bukan acara penting, bahkan dapat dikatakan kalau ia masih bingung mengapa diiyakannya ajakan menghabiskan akhir tahun itu dengan mudah.
Terdengar suara motor dari luar rumah. Bertepatan dengan itu pula sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Jinsoul jelas tidak mengangkat telepon itu karena ia tahu siapa dan di mana si penelepon. Ia langsung keluar rumah dengan bawaan seadanya dan terkejut begitu melihat siapa yang ada di depan rumahnya.
Taeyang dengan senyuman secerah matahari dan—tunggu, lelaki itu mengenakan jaket denim yang sama persis dengannya.
Mantap jiwa. Tidak ada dresscode atau semacamnya, tapi pakaian mereka bisa sama.
Sebenarnya Jinsoul sudah ambyar ketika melihat senyuman lelaki itu, namun batal karena sadar bahwa jaket denim yang mereka pakai sama persis. Mungkin melalui hal itu ia diingatkan untuk tidak ambyar karena musuh sendiri.
Lain di pikiran, lain di kenyataan. Meskipun pikiran Jinsoul menyuruhnya untuk kembali ke dalam rumah, yang ia lakukan malah naik ke motor. Entah setan macam apa yang menyuruhnya untuk naik ke kendaraan beroda dua itu, padahal ia sendiri tidak tahu mau dibawa ke mana.
"Nih, pake." Taeyang memberikan helm kepada perempuan yang ia bonceng. "Sengaja gue bawain helm biar rambut lo ga rusak gara-gara angin,"
✭✭✭
Jinsoul turun dari motor dan melepas helmnya. Ia amati bangunan yang berdiri tegak di hadapannya. Dari kaca luar dapat terlihat berbagai rangkaian bunga. Pandangannya menangkap barang-barang seperti pita jepang dan boks bermotif. Tampaknya ia mengenal tempat yang satu ini.
Barulah setelah Taeyang menyuruhnya masuk, ia ingat tempat apa ini. Ia pernah ke sini bersama Jihyo, membelikan Jaebum—gebetan perempuan itu entah yang keberapa—sebuket bunga untuk diberikan saat wisuda.
"Nih, duduk." Taeyang menunjuk ke sebuah kursi yang ada di samping rak kaca. Jinsoul duduk, menanti apa yang akan terjadi selanjutnya. Beberapa menit berlalu, lelaki itu tidak kunjung kembali. Jadilah ia sibuk dengan ponselnya, chatting dengan manusia kurang kerjaan di grup.
Taeyang kembali dengan sebuah flower crown. Lelaki itu memasangkan barang tersebut di kepala Jinsoul, kemudian menatapnya hingga si perempuan sadar.
"Lo cantik."
Jinsoul menatap lelaki di hadapannya dengan penuh tanya. Ia sudah biasa mendengar pujian—atau gombalan—dari lelaki itu tentang kecantikannya, namun raut wajah si lelaki membuat pertanyaan menghujani pikirannya. Tidak biasanya Taeyang terlihat seserius ini. Entah lelaki itu memang sedang serius atau sedang berubah, ia tidak tahu.
Si lelaki membuka mulut. Tadinya ia berniat mengatakan 'Sayang', namun batal. Ia lebih memilih untuk bertanya, "Lo tau, ga?"
Otomatis si perempuan menggeleng. Mana tahu ia apa yang dimaksud. Namun, ia berfirasat kalau setelah ini akan terjadi acara gombal yang penuh dengan keju.
"I was born to love you,"
Nah kan.
"But I was born to hate you." Daripada diam atau menyumpahi lawan bicaranya untuk musnah, Jinsoul membalas gombalan tersebut dengan kejujuran. Perempuan itu bangkit dari kursi, berniat mencari cermin untuk melihat keadaannya saat ini. Penasaran apakah flower crown tersebut cocok dengannya atau tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
born hater
FanfictionMau sebenci apa pun, kalau takdirnya bertemu, ya bertemulah. © 2017 plusmin-us