Lama, namun terasa sebentar. Apakah itu?
Tentu saja libur semester. Tanpa terasa, semester genap sudah dimulai. Manusia yang rajin bersemangat menyambut semester baru dan kelihatannya manusia yang mager harus berjuang untuk bangkit dari kasur mereka. Doakan saja semoga manusia yang mager tidak memutuskan untuk bolos di hari pertama kuliah.
Kelas siang di hari pertama bisa disebut keuntungan sekaligus kesialan. Bagi Jinsoul, kelas siang di hari pertama membuatnya tidak usah bangun pagi-pagi. Di sisi lain, ia harus pulang lebih sore—mungkin malam—karena ajakan kumpul cantik dari Jihyo. Untung saja yang tiga rela memghampirinya.
Di sinilah ia sekarang. Duduk di samping Jihyo, berhadapan dengan Dawon dan Luda. Segala macam obrolan yang terdengar di kantin bercampur dengan pembicaraan mereka. Sore itu, empat perempuan yang tengah berkumpul bergantian membagi cerita.
Diawali dengan Dawon yang menceritakan hobi barunya—bersepeda. Lanjut ke Jihyo yang dari zaman batu hingga saat ini tidak punya topik lain selain gebetannya yang setumpuk. Luda yang sudah menebak arah pembicaraan temannya itu langsung mengambil giliran. Perempuan itu menceritakan perihal squad receh kakaknya yang berkumpul di rumahnya. Termasuk rencana Dawon dan Jimin—dua anggota squad receh yang sering jadi korban salah sebut nama karena wajah mereka yang mirip—untuk membuat film berjudul Ayah, Mengapa Kita Sama?.
Iya, parodi dari film Ayah, Mengapa Aku Berbeda?. Dasar mahasiswa semester akhir, masih saja sempat kepikiran rencana yang mereka buat saat akan lulus SMA.
Jinsoul memutuskan untuk tidak bercerita. Lagi pula, tidak ada yang menarik untuk diceritakan. Sebenarnya ia ingin menceritakan perihal kedatangan Jangjun ke rumahnya, namun ia memilih untuk merahasiakannya. Toh, kedatangan manusia dengan selera humor amblas itu tidak penting-penting amat.
"Masih mikirin dia, ya, lo?" Tebakan Jihyo benar-benar kena di hati, namun Jinsoul membantahnya.
"Katanya Jangjun, sih, masih," sahut Luda. Perempuan yang beberapa hari lalu memaksa Jangjun untuk membocorkan pembicaraannya selama di rumah Jinsoul itu tersenyum puas. Ia sudah tahu apa yang dibicarakan sepupunya dengan Jinsoul, termasuk kebohongan yang terucap. Tahu benar Luda kalau Jinsoul diam-diam kangen dengan lelaki yang hari ini belum terlihat batang hidungnya.
Sepasang mata berkacamata itu memerhatikan keramaian di kantin. Mencari seseorang yang sedari tadi tak terdeteksi keberadaannya. Padahal teman-temannya ada, lantas mengapa orang itu tak ada? Bisa jadi orang yang ia cari masih ada kelas, bisa jadi sudah kembali ke rumah. Anehnya, ia mengharapkan kemunculan orang itu, yang biasanya membuat kesal kalau sudah terlihat.
Ah, mencari lelaki itu hanya membuatnya terlihat seperti remaja yang baru pertama kali merasakan cinta.
Sebagai orang yang paling peka di antara mereka berempat, tentu saja Dawon tahu apa yang tengah dicari temannya. Perempuan yang tengah mengaduk minumannya itu turut menyapukan pandangannya ke seisi kantin. Mencari apa yang temannya cari, mencari seseorang yang mewarnai pikiran temannya akhir-akhir ini. Benar juga apa yang pernah ia katakan—sebenci-bencinya kita terhadap seseorang, setidaknya orang itu pernah muncul atau bahkan, mewarnai pikiran kita.
Pandangan Dawon menangkap seorang lelaki di antara orang-orang yang memasuki kantin. Lelaki yang kini melambaikan tangan pada seseorang yang menempati sebuah meja. Orang yang menjadi tujuan lambaian tangan bersuara. Suara dan tawa receh khas Jangjun terdengar pada detik berikutnya. Dawon tak salah lihat. Benar itu orang yang ditunggu kehadirannya oleh Jinsoul. Dengan cepat, Dawon menyentuh lengan bawah temannya. Mengode kalau orang yang ditunggu sudah datang dan kini melangkah ke meja yang tak jauh dari tempat mereka.
Tentu saja Jinsoul langsung menoleh ke belakang. Sebisa mungkin ia tidak memperlihatkan reaksi yang berlebihan agar dua dari mereka yang rusuh—Luda dan Jihyo—tidak beraksi. Mana mau ia kalau dua orang itu peka dan meledek karena mereka menganggapnya terkena karma.
Sebuah senyuman tersungging di wajahnya. Ia melihat wajah itu, wajah yang ia rindukan kemunculannya—meskipun benci juga kalau muncul di hadapannya. Dalam diam ia berharap bahwa lelaki yang tengah bercengkrama dengan temannya itu menyadari keberadaannya dan menyapa. Setidaknya tersenyum.
Hingga pada akhirnya, tatapan mereka bertemu.
Taeyang menampakkan senyumannya. Bukan senyum yang sering ia tunjukkan kepada orang-orang, namun senyum canggung yang punya banyak makna di baliknya.
Rasanya agak kecewa ketika melihat bahwa lelaki itu tak menampakkan senyuman khasnya. Seperti suasana hatinya saat ini, Jinsoul membalas senyuman si lelaki dengan senyum yang tak kalah canggung. Setelah itu mereka kembali dengan urusan masing-masing. Persis seperti orang yang tak kenal satu sama lain.
Luda yang sedari tadi memerhatikan kejadian itu hampir menanyakan sesuatu yang salah dengan keduanya sampai secanggung ini ketika bertemu. Untung saja Dawon menahannya agar mengurungkan niat untuk bertanya, jadi ia tidak perlu membuat kerusuhan di sore yang cerah ini. Perempuan itu pun menuruti perintah temannya dan berakhir meledek Jihyo yang baru saja menemukan lelaki tampan di meja sebelah.
Sementara Luda meledek Jihyo dan Dawon menikmati minumannya, Jinsoul tenggelam dalam pikirannya. Mencari alasan paling masuk akal untuk menjawab pertanyaan mengapa mereka bisa secanggung ini. Ada satu alasan yang terus muncul dalam pikirannya. Tepat untuk menjawab pertanyaan tersebut, tepat pula untuk menciptakan pertanyaan baru.
Apakah benar kalau manusia berubah, begitu pula dengan perasaan mereka?
✭✭✭
a/n
bersyukurlah bahwa kotak pertanyaan belum muncul wkwkwk
btw
mampir bisa kali hehehehe
(iyak ceritanya aku promosi)
KAMU SEDANG MEMBACA
born hater
Fiksi PenggemarMau sebenci apa pun, kalau takdirnya bertemu, ya bertemulah. © 2017 plusmin-us