Bulir 1 : Celosia Leene

766 59 15
                                    

First publish : Storial.co


Rintihan kesakitan mengalun ringkih menemani perjalanan sepasang suami istri menyusuri jalanan memasuki ibu kota baru Estonial, Tallin. Sang suami yang tengah mengemudi sesekali menoleh pada sang istri yang sudah bermandikan peluh karena kontraksi kandungannya. Waktunya untuk melahirkan.

"Tahanlah, Meola. Aku melihat sebuah rumah di sana," ujar Daizen, sang suami yang sudah tidak tega melihat kesakitan istrinya.

"Ti-tidak! Ki-kita harus masuk ke kota. Me-mereka akan menemukan keberadaan kita jika berhenti sebelum masuk kota. A-aku bisa bertahan. Arrrg!" jerit istrinya kesakitan.

"Tidak ada pilihan lain. Ini lebih berbahaya untuk kalian berdua. Kita harus berhenti, putri kita tidak bisa menunggu lagi." Daizen meyakinkan istrinya.

Kesakitan tiada tara membuat Meola tidak bisa mengelak lagi. Dia harus melahirkan putrinya sekarang. Atau semua perjalanan mereka sejauh ini ke Tallin akan menjadi sia-sia. Putrinya berhak lahir dan menjalani kehidupannya.

Cahaya lampu yang tak begitu terang terlihat di gang pinggir jalan yang mereka lalui. Mereka tidak memiliki pilihan, tidak ada satu rumahpun sepanjang jalan yang dipenuhi pohon White Birch. Meskipun nanti ternyata itu bukan sebuah rumah, setidaknya gubuk atau pos tidak berpenghuni, mereka berencana akan melakukan persalinan sendiri. Segala keperluan sudah mereka siapkan jauh-jauh hari untuk situasi ini dan Daizen, setidaknya sudah mempelajari tentang persalinan darurat. Tidak sesuai dengan pekerjaannya sebagai dosen sejarah, tapi demi istrinya, putrinya, sebagai seorang suami dan juga calon ayah, dia bisa melakukannya.

"Oh?" Seorang wanita tua keluar setelah pintu rumah kecilnya diketuk ditengah malam cerah karena bulan hampir purnama.

"To-tolong istri saya. Dia akan melahirkan," ujar Daizen sembari menopang tubuh istrinya yang mulai melemah dengan napas berat.

Sejenak wanita tua itu terdiam, lalu dia segera membuka lebar pintunya. "Masuklah," ujarnya.

Daizen segera membawa istrinya masuk dengan perlahan. Mengikuti wanita tua itu menuju sebuah kamar tidur.

"Baringkan istrimu di sini," ujar wanita tua itu sembari menumpuk bantal.

"Ba-baik." Daizen membopon istrinya dan membaringkannya dengan perlahan. Rasa panik melandanya karena merasakan rok istrinya basah. Air ketubannya telah pecah.

"Arrrggh, sakit!" jerit Meola dengan wajah pucat penuh peluh.

"Bertahanlah, Meola. Aku di sini bersamamu. Kau pasti bisa, sayang." Daizen mengecupi kening istrinya dan menggenggam erat jemari istrinya. Meola mengangguk dengan susah payah.

"Apa kau ingin menunggu di luar?" tanya si wanita tua yang sudah menyiapkan sebaskom air dan kain-kain.

"Apa Anda bisa membantu persalinan?" tanya Daizen.

"Itu pekerjaanku," jawab si wanita tua.

Daizen menghela napas lega. Jika wanita tua baik hati ini tidak bisa, Daizen sudah mempersiapkan diri untuk melakukan persalinan meski dengan ilmu minimnya. Mendengar ini adalah pekerjaan wanita tua itu sungguh membuat Daizen kehilangan beberapa beban di pundaknya. Istri dan putrinya ada harapan besar selamat, putusnya dalam hati.

"Aku akan membantu sebisaku. Akan akan mengambil keperluan di mobil dulu." Daizen melangkahkan kakinya dengan cepat menuju mobilnya. Diambilnya semua keperluan persalinan yang sudah disiapkannya. Membayangkan dirinya akan menjadi seorang ayah setelah sepuluh tahun lamanya menunggu membuat hatinya membuncah bahagia. Tentu kebahagiannya akan terasa penuh jika orang-orang itu tidak datang pada keluarganya dan berniat mengambil putrinya. Daizen tidak akan membiarkan itu terjadi.

DARKNESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang