Bulir 6 : Unwanted Guest

184 23 1
                                        

Saatnya membayar, Nona!

Sia menegakkan tubuhnya, menghembuskan napas dengan cepat lalu menyisir rambutnya asal dengan jemari. Dibenarkannya syal yang sudah terikat rapi. Menoleh ke samping kanannya lalu tersenyum kecut.

"Ini tidak akan mudah," batin Sia.

***

Beberapa waktu sebelumnya.

"Apa?" jerit Sia tidak percaya yang baru saja dia dengar. "I-itu tidak bisa. Bagaimana bisa kalian memintaku membawa tiga orang asing yang ..." Sia melihat ke arah dua tas hitam yang bersender manis di dekat Candles berdiri dengan senyuman ramahnya yang tak pernah pudar. " ... yang bahkan membawa senjata ke rumahku," cicitnya.

"Bukankah kau merisaukan tentang orang tuamu? Aku sendiri yang akan bicara pada mereka dan juga aku harus menyampaikan pesan pada orang tuamu," ujar Holkay.

"Jangan katakan kalian mengenal orang tuaku?" celetuk Sia.

"Bisa dibilang iya bisa tidak," jawab Holkay terdengar menyebalkan bagi Sia.

"Meski begitu tetap tidak bisa!" kukuh Sia.

"Oh, begitukah caramu untuk membalas penyelamatan dirimu? Kau memang diperlukan untuk menghadapi krisis kegelapan, tapi melihatmu seperti manusia tidak tahu balas budi, aku lebih suka membiarkanmu dicabik-cabik Stealth," ucap Holkay tajam dan sangat pedas.

Sia merasa tertohok. Pria satu ini memang terlihat tidak suka dengannya dan Sia juga telah memutuskan bahwa Holkay adalah pria pertama yang akan masuk daftar pria menyebalkan yang harus dihindari olehnya. Lupakan tentang wajahnya yang rupawan. Semua luntur begitu saja karena sikapnya.

"Ya ampun, Bos. Kau memang ahlinya memincu perang." Candles menengahi. "Nona, kami akan bicara baik-baik dengan orang tuamu, jadi izinkan kami ke sana. Seperti katamu, kita akan dalam masalah kalau tetap di toko ini," ujar Candles tetap dengan senyumannya.

Sia menyukai cara bicara pria satu ini, meski kadang senyumnya ramah seperti penuh jerat. Setidaknya Candles memilih kata yang baik. Tidak seperti Holkay.

"Itu benar ..." Sia paham situasi sekarang. Menatap kearah Armenia yang kembali diam sejak tadi. Sia tidak tega juga melihat seorang gadis harus berkeliran bersama dua pria bersenjata ini.

"Kalian benar-benar membuang waktu!" Holkay mulai berkoar lagi.

"Tenanglah, Bos."

Mengingat orang tuanya, Sia kembali tersadar akan rencananya mengakui akan hilangnya cincin. Melihat situasi sekarang yang sudah melebar ke mana-mana, Sia berpikir memang sudah waktunya untuk mengaku dan bertanya tentang dirinya selama ini.

Sia menghembuskan napas. Dia tidak bisa memilih atau mundur lagi. "Baiklah, kalian boleh ke rumahku," ujarnya pasrah.

***

Sia kembali ragu ketika akan membuka pintu rumahnya. Diusapnya plester kecil di keningnya yang aman karena berada di tepian, jadi Sia bisa menutupinya dengan rambutnya. Sweaternya beruntung tidak robek, hanya ada beberapa benang yang mencuat. Celananya yang kotor ketika berbenturan dengan aspalpun sudah bersih. Seharusnya penampilannya tidak akan membuat mamanya panik sementara. Sekarang dia telah siap. Tangannya hampir memegang handle pintu jika tidak ada suara yang menyelanya.

"Apa kita akan berdiri di sini semalaman?" Holkay mulai berujar dengan sindirannya.

Sia menoleh ke arah sumber suara. Dia menatap kesal pada Holkay. Pria itu saat diam terlihat menakutkan dan setelah buka suara berubah menjadi sangat menjengkelkan. Benar-benar paling bisa membuat Sia naik darah.

DARKNESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang