Bulir 9 : First Day

161 28 2
                                        


Belum ada sehari di perkampungan suku Heilige, Sia sudah merasa sangat bosan. Tidak ada apa-apa di sini. Ternyata hidup tanpa adanya listrik itu sangat tidak enak. Sia sekarang benar-benar merasa pada zaman yang berbeda.

"Ke mana mereka?" tanya Sia saat melihat rombongan pria membawa pedang melintas di depan rumah yang dia tempati.

"Membuat penghalang di sekitar perkampungan," jawab Armenia yang dipaksa Sia agar menemaninya sejak gempa kecil siang tadi.

"Oh ..." Sia teringat ucapan Gladiolus kepada Holkay siang tadi yang menyuruh pria menyebalkan itu untuk membentengi perkampungan ini.

Dari arah rombongan itu nampak Candles melambaikan tangan ke arah mereka. Reflek Sia mengangkat tangan dan membalas lambaian itu.

"Candles terlihat berbeda sendiri di sini," simpul Sia saat rombongan itu sudah berlalu agak jauh.

"Oh, ya." Armenia menoleh pada Sia. Wajahnya yang pucat dengan mata tidak bersemangat itu masih setia bersamanya.

"Dia terlihat lebih ramah dan ceria daripada yang lain."

"Benar juga. Mungkin karena Candles bebas pergi ke mana saja yang dia mau. Dia bahkan bersekolah di ibu kota baru. Tapi, karena itu kekuatan spiritualnya tidak bisa setinggi Holkay," cerita Armenia.

"Begitu kah?" Sia mengangguk-angguk.

"Untuk memiliki kekuatan spiritual yang tinggi dibutuhkan sebuah pelepasan akan duniawi. Suku Heiliege sudah dilahirkan dengan kekuatan spiritual, tapi tidak menutup kemungkinan ada yang masih tidak bisa menahan godaan duniawi."

"Karena itukah kalian memilih tetap di ibu kota lama? Tanpa listrik tanpa terjamah masyarakat modern?" Sia mengedarkan pandang lalu membuang napas. "Kurasa aku tahu kenapa buyutku memilih pergi dari sukunya."

Armenia melirik ke arah Sia yang terlihat menonjol sendiri. Pakaian, penampilan, cara bicara, merupakan perwakilan beradaban modern yang baru diketahuinya beberapa waktu lalu karena diberi tugas untuk menjemput gadis itu. Dalam hati kecilnya, dia begitu takjub dengan ibu kota dan segala macam isinya, namun selama ini dia terkurung di perkampungan ini, belajar pengobatan spiritual tradisional sejak dia masih kecil. Sekarang ini melihat Sia seperti melihat cahaya di kehidupannya yang suram.

"Hei, setelah aku melakukan ritual itu berarti aku sudah selesai di sini, kan? Apa nanti kau akan ikut mengantarku pulang? Kalau iya, nanti akan kuajak jalan-jalan," ujar Sia dengan senyum lebar.

Armenia tercengang sejenak lalu wajahnya terlihat muram.

"Oh, maafkan aku. Aku lupa kau tidak bisa pergi keluar sesuka hati ya. Apa mereka membatasi ruang gerak wanita? Tidak kusangka di sini juga seperti itu. Dengar, Armenia!" Sia menepuk bahu gadis itu. "Meski kita wanita, tapi kita tidak lemah. Banyak wanita berhasil di luar sana. Dengan kemampuan pengobatanmu itu, kau bisa menjadi dokter yang hebat!"

"Dokter?" Armenia bergumam.

"Kau hebat. Kau sudah menyelamatkan papa. Terima kasih untuk itu."

"Itu-"

"Armenia!" Suara panggilan itu membuat mereka berdua menoleh. Seorang wanita paruh baya memakai tudung melambai pada Armenia.

"Aku harus pergi," ujar Armenia.

"Oke. Terima kasih sudah menemaniku," balas Sia.

Armenia ingin tersenyum, tapi otot pipinya terasa lemas. Dia tidak bisa mengangkat bibirnya, karena itu bukan dirinya. Lalu dia membalikkan badan dan berlari kecil menghampiri wanita yang memanggilnya.

DARKNESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang