Bulir 5 : Telltale

231 30 1
                                    

"Kau tidak akan bisa lari dari takdirmu."

~ The Shadow ~


Sia, bangun!

Sia membuka kedua matanya. Tersentak lebih tepatnya. Matanya nyalang menatap sekitarnya. Gelap. Tidak bisa bernapas dengan benar. Tercium harum sesuatu. Tubuhnya menegang. Apakah aku sudah mati?

"Hei, buka itu. Sepertinya dia sudah sadar."

Suara siapa? Sia masih bertanya-tanya di dalam kegelapan. Mencoba menggerakkan tubuhnya. Apa benar dia sudah mati? Sia berperang dengan batinnya sendiri. Mati karena dibunuh Stealth. Tapi, tunggu bukankah ada tiga orang asing yang datang saat itu. Lalu, apa benar dia sudah mati?

Matanya menyipit karena kegelapan yang menutupi penglihatannya perlahan terangkat. Matanya langsung menutup merasakan cahaya menyilaukan yang langsung menuju lensanya.

"Kau sudah bangun?" terdengar suara lembut seorang perempuan.

Sia perlahan membuka matanya kembali. Ada cahaya warna warni yang menghalangi pandangannya karena terpaan cahaya menyilaukan tadi. Sia tidak mengenali suara yang baru saja didengarnya. Siapa? Malaikat?

"Kau bisa mendengarku?" terdengar lagi suara yang sama.

Cahaya waran-warni itu perlahan memudar. Pandangannya semakin jelas. Yang pertama ditangkap matanya adalah sosok gadis berwajah pucat. Sia ingat, dia salah satu rekan tiga orang asing yang mencarinya di kampus.

"Aku masih hidup?" Reflek tubuh Sia langsung bangun. "Aw!" pekiknya merasakan nyeri di pungungnya. Sakit.

"Jangan bangun tiba-tiba, punggungmu terluka," ujar Armenia dengan suara pelan.

"Aku benar masih hidup?" tanya Sia memastikan keadaannya.

"Kau hanya pingsan tadi dan ya kau masih hidup. Aku sudah memberimu obat," jawab Armenia. Gadis itu melipat sapu tangan hitam dan memasukkannya ke dalam tas. "Maaf tadi aku menutup wajahmu dengan sapu tangan ini agar kau cepat bangun. Ada obat di sapu tanganku," jelas Armenia.

Sia menatapnya. Ternyata sapu tangan itulah yang membuat Sia mengira dirinya sudah berada di alam lain. Gadis itu menghela napas lega karena mendapati semuanya masih berada di tempatnya. Benarkah semuanya?

Pao Pao!

"Anu itu Pao Pao di mana?" tanya Sia teringat kawan berbulunya itu.

"Lucu sekali," sela suara dingin nan meremehkan. Holkay si pembunuh Stealth. Sia yang menamakannya. "Kau hampir mati oleh Stealth dan kau mencemaskan makhluk berbulu ini?" Holkay menjinjing bulu Pao Pao seperti memegang sesuatu yang menjijikkan. Makhluk itu nampak menutup matanya dan tidak bergerak.

"Kau apakan Pao Pao?!" teriak Sia langsung berdiri. Tapi ...

KRAK.

Sia langsung meluruh lagi. Bunyi itu sudah jelas dari pungungnya. Seperti tulang yang patah. Dan rasanya sungguh sakit luar biasa. Dia menahan air mata sembari menggigit bibirnya.

"Patah, sudah pasti ada yang patah," batin Sia menangis.

"Sudah kubilang jangan gerak-gerak." Armenia menghela napas. Dia mendekati Holkay dan mengambil Pao Pao lalu menghampiri Sia yang memilih duduk dengan tenang. "Ini." Dia mengulurkan Pao Pao yang tak bergerak di telapak tangannya.

Sia mengambil Pao Pao. Meletakkan Stealth kecil itu di pangkuannya. "A-apakah dia sudah mati?" tanya Sia sembari menatap sedih pada Pao Pao. Diusapnya perlahan tubuh berbulu itu.

DARKNESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang