Sembilan

3.7K 207 40
                                    

Setelah menonton film, mereka berdua keluar dari bioskop. Waktu masih menunjukan pukul 19.00. Vanilla yang berjalan di belakang  Ozy sesekali menghentakan kakinya.

"Dia manusia bukan, sih? Kok ngga pekaan ya? Bukannya ciri-ciri Makhluk hidup itu peka terhadap rangsang? Lah, gue yang pas-pas an aja ngerti. Dia? Cih," Vanilla menggumam sendiri di belakang Ozy.

Vanilla mencebikkan bibirnya. Tanpa ia sadari, sedari tadi Ozy sudah berhenti di depannya dan mendengar celotehan Vanilla.

"Udah ngomelnya? Cerewet banget kaya Masha," Ozy menoel pelan pipi Vanilla. Gadis itu hanya diam menunduk sambil menahan diri untuk tidak ternyum dan berlari menghambur kedalam pelukan lelaki itu.

"Hp lo bunyi dari tadi. Angkat gih. Ngambek mulu sih."

Ozy mengucapkan kata-kata itu dengan nada sedikit mengejek. Vanilla merogoh isi slingbag nya kemudian berbalik membelakangi Ozy. Ozy menunggu Vanilla yang masih berbicara dengan lawan bicaranya di telepon.

"Vani, udah pulang?"

"Belum, bun. Masih di mall sama kak Ozy. Kenapa Bun?"

"Ngga papa, hari ini Bunda pulang agak malem, kamu ke cafe dulu bisa? Sekalian ajak Ozy. Ya?"

"I..Iya, Iya, bun. Nanti aku ajak kak Ozy."

"Oke. Bunda tutup ya, pulangnya hati-hati. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, bun. Pasti."

Vanilla memutuskan panggilan teleponnya. Dia kembali menghampiri Ozy yang masih menunggunya sambil bersandar di besi pegangan tangga.

"Kak, mmm.. itu, bunda nyuruh kita ke cafe katanya, dia pulang agak malem, jadi mau ketemu gue dulu. Lo mau kan kak?" ucap Vanilla sedikit ragu.

"Yaiyalah, mau. Secara jalannya sama adik nya Chelsea Islan gitu," Ucap Vanilla menjawab pertanyaan nya sendiri dengan berbangga diri. Ozy yang sedari tadi diam mendengarkan celotehan Vanilla,kini membuka suara.

"Pede banget, lo." Jawab Ozy seenaknya.

Vanilla memanyunkan bibirnya, terlihat sangat lucu sekali. Melihat wajah lucu Vanilla, Ozy sempat terkekeh pelan. Tapi secepatnya ia menetralkan suaranya, dan pura-pura bersikap seolah ia tak peduli.

"Ngapain manyun-manyun? Kode minta dicium? Sini!" Ozy menegakkan badannya dan melipat kedua tangannya di depan dada.

"NGGA!" Vanilla memukul lengan Ozy dengan keras. Vanilla menyipitkan matanya dan menatap Ozy dengan tatapan tajam. Vanilla berjalan duluan di depan Ozy sedangkan Ozy mengikutinya dari belakang sambil menggendong boneka pony big size milik Vanilla.

Tanpa menunggu lama, Ozy sudah berjalan sejajar dengan Vanilla. Langkah kaki laki-laki memang tak sekecil langkah kaki perempuan.

"Ngambek mulu. Ntar tua." Cibir Ozy sambil terus berjalan menuju carport.

"Yang tua itu lo kak, bukan gue. Sorry aja ya kak. Gue masih munyu." Ucap Vanilla sambil tersenyum sehingga kedua matanya merapat.

"Munyu?" Ozy mengerutkan keningnya. Merasa aneh mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Vanilla.

"Iya, gue kan munyu. Imut dan unyu." Vanilla tertawa melihat ekspresi Ozy. Bagaimana ekspresinya? Hanya diam, dengan mulut sedikit terbuka.

Selang beberapa detik, suara tawa Ozy terdengar di telinga Vanilla. Hanya dengan mendengar tawanya, jantung Vanilla sudah bekerja lebih cepat. Bahkan seperti habis lari lapangan sebanyak sepuluh kali.

"Jijik lo. Kaya tante-tante," komentar Ozy.

"Iya percaya yang tua."

"Gue sih bodo amat." Ozy mengabaikan Vanilla. Tanpa sadar mereka sudah sampai di carport. Ozy masuk kedalam mobil lebih dulu. Ya. Tanpa menyuruh Vanilla masuk. Vanilla merasa kesal kepada Ozy. Orang itu sudah membuat moodnya rusak seketika. Vanilla mencak-mencak sendiri, sedangkan Ozy diam diam tersenyum di dalam mobil.

If I Can [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang