Bab 9

8.6K 503 13
                                    

Ageha berdiri siaga dengan posisi kaki membentuk kuda-kuda dan sebuah tongkat panjang di tangannya. Matanya menatap sosok yang siap melawannya, seorang gadis belia berkerudung tosca yang sama-sama memegang tongkat.

Angin berhembus lembut pagi itu. Sehelai daun dari pohon besar yang berdiri kokoh di halaman melayang jatuh mengikuti angin. Perlahan daun itu melayang dan jatuh di hadapan mereka yang masih mematung di tempat. Detik kemudian, gadis belia itu maju.

Ageha mundur satu langkah sambil menangkis serangan gadis itu dengan tongkatnya. Ia membungkuk ketika tongkat gadis itu menyerangnya dengan gerakan seperti menggunakan pedang. Dan di saat itulah Ageha memukul perut gadis itu hingga ia terjungkal ke belakang. Ageha maju menyerang, namun terhenti saat mendengar suara menginterupsinya.

"Jangan mencari musuh!" teriak pak Yana yang mengawasi pertarungan itu.

Langkah Ageha tertahan. Ia kembali memasang posisi siap dan menatap gadis itu bangun sambil meringis menahan sakit di perutnya. Ageha menatap perut gadis itu, pukulan tadi memang cukup keras walau Ageha hanya menggunakan sedikit tenaganya. Tatapan beralih menatap mata gadis itu seiring dengan suara yang menggema di kepalanya.

Jangan menatap target yang akan diserang dan jangan mengikuti arah pergerakan senjata yang digunakan. Jaga kontak matamu dengan lawan dan perhatikan setiap gerakan yang dilakukannya.

"Hiyaaa!!" teriak gadis itu saat ia dan Ageha melangkah maju untuk saling menyerang.

Suara dari dua tongkat yang saling berbenturan menarik perhatian Desna di dalam rumah. Sambil menyesap tehnya, ia menyaksikan pertarungan seru antara Ageha dan putri sulung pak Yana, Anggraeni. Tiap pagi Ageha memang selalu berlatih bela diri dan hari minggu dia meminta tolong agar Anggraeni menjadi partner latihannya. Seperti pagi ini.

Desna ke halaman belakang dengan nampan berisi seteko teh dan empat buah cangkir, juga sepiring kue.

"Sudah berapa lama mereka begitu?" tanya Desna mengejutkan pak Yana.

Pria paruh baya itu tersenyum menerima cangkir teh beraroma apel yang menjadi favorit Ageha - meski itu belum cukup membuat Ageha berpaling dari kopi.

"Satu jam. Non Ageha sangat pandai mengatur nafas dan gerakannya."

"Begitu ya."

Mata Desna beralih pada dua gadis yang sudah menyelesaikan pertarungan ketika mendengar suara jeritan. Tongkat di tangan Anggraeni terjatuh dan gadis itu terengah kelelahan mendapati tongkat Ageha sudah menyentuh lehernya. Berbeda sekali dengan Ageha yang terlihat tenang. Meski wajahnya memerah dan tubuhnya berkeringat, nafasnya tidak terengah. Mata hitam bening itu terlihat lebih gelap dari biasanya. Sesaat, Desna merasa ada aura menakutkan dalam mata sendu itu. Seperti...

"Kematian..."

Desna menoleh. "Apa?"

"Tuan berpikir seperti itu melihat non Ageha, bukan?"

Desna tidak menjawab. Dia hanya menatap pak Yana yang menyesap tehnya.

"Jujur saja. Sejak pertama kali non Ageha meminta saya dan Anggrek menemaninya berlatih, saya perhatikan gerakannya lebih kepada menyerang dibanding untuk melindungi diri."

Penilaian pak Yana sebagai orang yang pernah menjadi pelatih pencak silat tentu tidak bisa diragukan. Dan saat Desna mengingat tiap kali Ageha berlatih, Ageha memang lebih sering menggunakan gerakan menyerang.

Menyerang orang-orang yang hendak menyakitinya, koreksi Desna dalam.

"Waaah! Kue!" Seru Anggraeni riang sambil mengambil cinnamon roll di piring. "Makasih, kak Desna."

Between Dark And LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang