Bab 24

6.8K 474 30
                                    

Hawa menyusuri koridor menuju ICU, membenci setiap langkahnya yang menggema dalam kesunyian. Ia benci aroma, suara, dan semua hal tentang rumah sakit. Saat suster yang menjaga bertanya apa Hawa keluarga Arka, Hawa tak ragu-ragu mengangguk. Ia berbohong, hal yang jarang ia lakukan.

Ketika sang suster meninggalkan ruangan, Hawa merasa dirinya berada dalam ruangan sempit. Dan makin sempit dengan berbagai alat penunjang kehidupan serta tempat tidur dimana tubuh Arka terbaring.

"Aku sedang sibuk menyelidiki pembunuh gila yang berkeliaran. Tapi kau malah enak-enakan tidur di sini."

Kediaman Arka membuat Hawa menyerah. Hawa meraih tangan Arka. Dingin, batinnya. Tangan besar itu biasanya hangat. Hawa ingat pertama kali merasakan hangat tangan pria muda itu. Saat Arka sengaja mengikutinya di jam bebas. Arka membawanya ke sebuah taman, duduk di ayunan menyantap sebungkus keripik kentang berbumbu seperti remaja sekolah di kencan pertama.

Arka mengajaknya untuk melupakan sejenak pekerjaan mereka sehari-hari dan menikmati indahnya dunia. Tapi Hawa tidak menikmati sejuknya angin atau pemandangan taman. Ia malah mengamati orang-orang dan berhasil menangkap pencopet yang langsung mengeluarkan sumpah serapah padanya. Arka tidak memandangnya sebagai wanita aneh seperti pria-pria lain yang berusaha mendekatinya, pemuda itu malah memandang kagum dan mentraktir es krim vanila favoritnya.

"Kalau dalam jangka waktu seminggu setelah kasus ini selesai kau masih belum sadar juga, aku akan menurunkan jabatanmu menjadi pemungut mayat!"

Hawa merunduk, berbicara dengan jelas dan keras di depan wajah Arka. "Kau dengar, tidak, dasar tolol. Cepat sadar dan angkat bokong malasmu itu dari tempat tidur. Aku repot menangani kasus ini sendirian. Kalau kau melarikan diri ke akhirat, jangan harap aku akan meneteskan air mata dan meletakkan karangan bunga di nisanmu. Aku akan menendang nisanmu dan menginjak-injak gundukan tanah makammu. Kau dengar?!"

Hawa meremas tangan Arka, menunggu respon yang tak kunjung tiba. "Bocah tolol...," gumamnya, tak menyadari nada kasih sayang pada pemuda itu dalam suaranya.

Hawa mendongak saat mendengar suara di belakangnya dan aroma bunga krisan di belakangnya. Ia berbalik, melihat Ageha dengan pakaian serba hitamnya membawa bunga krisan. Saat mencium aroma tanah pemakaman dari balik aroma cengkeh di tubuh gadis itu, tanpa sadar Hawa mencengkram tangan Arka. Entah kenapa sosok gadis itu... Berjalan dalam diam dan ketenangan yang janggal, membuatnya seperti malaikat pencabut nyawa.

"Tidak perlu menatapku setegang itu. Aku hanya menjenguk. Bukan mau mencabut nyawa Arka," ujar Ageha dengan sinar geli di matanya. "Aku dari pemakaman Marie. Korban semalam."

Hawa baru teringat. Wanita malang yang tewas semalam. Ya, satu lagi orang mati yang harus dibela. Hawa mengamati Ageha meletakkan bunga krisan di vas dan menatap Arka.

"Dia pria yang kuat. Pasti akan sadar."

"Ya," balas Hawa setuju.

Ageha tersenyum melihat tatapan Hawa yang menerawang saat menatap wajah Arka. "Aku pernah merasakannya."

"Eh?"

"Menunggu seseorang yang berharga sadar dari komanya."

"Kekasih?"

"Bukan. Dia seperti kakak bagiku. Pemilik rumah sakit ini." Ageha tersenyum tipis mengenangnya. "Aku tidak bisa menceritakan tentang diriku karena kehidupanku banyak yang tidak menyenangkan. Tapi dokter bilang komunikasi bisa mempercepat kesadarannya. Jadi aku membacakannya novel."

"Berapa novel yang kau baca?"

"Tiga buah. Tapi dampaknya besar sekali. Dia sadar dan..." Ageha berhenti sebentar untuk tertawa kecil. "Dia jadi mirip sekali dengan tokoh antagonis yang kusuka dalam novel itu. Sosok pria yang arogan dan berusaha mendapatkan apa yang dia mau sampai... Gadis yang diinginkannya takut dan menjauhinya."

Between Dark And LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang