Chapter 29

31.1K 1.1K 4
                                    

Alara's POV

Sabtu pagi dan gue udah balik tiduran di kasur, nonton film-film. Di tengah bagian yang seru, Rally masuk kamar gue.

"Aduh apa lagi sih?" Gue memencet pause di laptop dan nengok ke dia."Tumben pagi-pagi udah ganteng. Mau kemana lo?" Gue duduk di pinggir kasur, ngeliatin Rally yang udah pake kemeja lengan pendek hitam dan jeans nya. "Ke kantor Dad," dia menghembuskan nafasnya dan mengambil permen karet dari laci gue. "Ngapain?" Tanya gue dengan nada males.

"Disuruh nemuin temennya yang kerjanya di Harvard."
"Waduh?"
"Duluan ya." Dia berjalan mendekat dan memeluk gue karena gue masih duduk, muka dan tangan gue di perut dia.
"Udah sana ah." Gue mendorong dia. "Jangan sampe lumutan" Ledek dia.
"Berisik!" Gue memakai earphone lagi tapi rasanya ada yang manggil. Gue melepas earphone dan membuka pintu kamar.
"Kamu belom mandi?" Tanya bokap yang kaget liat gue dan gue juga kaget liat dia. Tumben peduli.
"Udahlah! Sejelek itu apa keliatannya?" Gue ngaca di lemari pajangan kaca yang ada di belakang bokap.
"Kamu ngapain?"
"Nonton."
"This is why I asked Rally to join me." Dia berkata dengan nada kecewa dan rasanya gue pengen menginjak kakinya.
"For the record, aku udah ngerjain semua PR dan butuh istirahat." Gue menyilangkan tangan. "Itu ngga bakal cukup untuk buat saya bangga." Beliau menjawab dengan ketus lalu pergi menuju tangga kebawah. Gue menutup pintu dengan di banting.Ya walaupun keliatannya kayak anak kecil tapi gue udah beneran gak tahan sama dia. Nyokap juga takut banget ngelawan dia. Padahal nyokap juga tau banget gue pengen dapet beasiswa dan berprestasi kayak Rally. Tapi bokap gapernah kasih kesempatan. Gue lanjut movie dan series marathon gue. Sesekali,turun ke bawah untuk ambil minum dan cemilan.

"Alara?" Suara nyokap terdengar dari ruang tamu. "Ya?"
"Kamu belom mandi ya?"
"Udaah Ma. Nih cium." gue menunjuk kearah rambut dan badan gue. Dia mendekat, "Ohiya udah kecium kok. Kusut banget sih..Kamu ngapain di kamar?"
"Nonton."
"Nonton apa?"
"Porn. Yaampun ma." gue menyilangkan tangan dan memutar bola mata.
"Ini makanya ayah kamu ngga suka sama kamu." Nyokap menggeleng kepala.
"Aku udah berusaha supaya dia baik ke aku sama kayak Rally, Ma. Mau usaha apa lagi? Aku udah belajar dan dia tetap ngga ladenin." Gue merasakan tekanan di tenggorokan gue dan gue langsung mengalihkan pandangan.
"Kamu harus lebih disiplin, jaga omongan. Mama gasuka kalo kamu jadi anak ngga bener." Nyokap jalan kearah dapur dan air mata yang gue tahan keluar dengan sendirinya. Gue langsung menghapus air mata itu dan pergi ke kamar lagi.

Gue memutuskan untuk ganti baju supaya ngga ditanya udah mandi atau engganya lagi. Gue mengambil sebuah oversized shirt warna abu-abu, melipat lengannya dan memakai legging hitam. Gue mengikat rambut dan ya emang tadi ternyata gue terlihat gembel banget. Gue naik ke kasur, ambil cemilan yang di bedside table dan mulai nonton lagi.

Setelah 4 film dan 8 episode sebuah series, gue melihat kearah jendela dan ternyata udah gelap.Gue melihat jam yang menunjukkan pukul 6 lewat 15 menit. Rally kayaknya belom balik. Mungkin diajak bokap dinner sama dubes Zimbabwe atau apaan.

Gue menekan episode selanjutnya dan menunggu loading. Gue mengecek hp dan gaada apa-apaan juga. Face it Ra, lo jones. Lampu kamar gak gue nyalain dan gue daritadi udah enak dengan posisi gue. Punggung bersendar di kumpulan bantal-bantal dan dari kaki sampai perut ditutup selimut, laptop di pangkuan.

Tiba-tiba pintu kamar gue terbuka dan gue reflek menyipitkan mata saking terangnya lampu di koridor luar. "Rally— duh tutup dong." Mata gue tetap tertuju ke layar laptop. Namun lampunya malah di nyalain.

"Iihhh Rall— lif?" Gue melepas earphone dan pause film nya.
"Hai." Alif menaikkan alisnya. "Kok bisa masuk rumah gue? Kok tau kamar gue?" Gue memandang dia dengan bingung.
"Lo punya mba yang baik dan pas dia suruh gue naik aja, gue denger ketawa lo dari kamar ini." Jelas dia santai kemudian duduk di kursi gue dan muter-muter sendiri.
"Kok dia suruh lo naik aja?" Tanya gue makin bingung. Mba gue itu disiplin.
"Gue bilang mau ngerjain tugas kelompok."
"Bener-bener lo ya." Gue menggelengkan kepala dan liatin bocah rusuh ini, "dan lo sebenarnya ngapain?"
"Gue abis ngopi dan novel gue abis. Terus rumah terdekat untuk diganggu ya lo," dia berdiri dan malah jalan ke kasur gue dan duduk.
"Gue lagi gamau diganggu." Gue memakai earphones nya lagi tapi malah ditarik sama dia.
"Sayang banget gabisa gitu, Ra."
"Lo tuh—"
"Ngeselin iya iya tau. Cerita lah kenapa bete banget." Alif menyenggol siku gue.
"Biasalah bokap. Nyokap juga ikutan jadinya."
"Gimana?" Gue menceritakan kejadian tadi pagi dan dia tertawa.

"Porn? serius Ra?" kata Alif sambil menggeleng kepalanya.
"Oh iya. Kalo nyokap tau lo disini, gue tambah dibilang anak ngga bener."
"Yaelah.. Lo dan gue ngga ngapa-ngapain ini kan. Udah lanjut gue juga mau nonton." Alif merebut earphone nya lagi dan memasang di telinga kirinya.
"Lo bener-bener udah anggap kayak rumah sendiri ya." Alif senyum dan menekan play. Kita asik nonton dan gue baru sadar kalo dia duduknya deket banget. Terlalu dekat. Gue ngga pernah sedeket ini sama cowok lain selain Rally dan mantan. Pundak Alif udah kena pundak gue dan gue bisa cium bau parfumnya dia. Gue bergerak agak menjauh tapi dia malah mendekat lagi.

"Lif jauhan dikit napa?" Gue menepuk paha dia. "Lo ngejauh, laptopnya ikutan."
"Bilang kek." Pintu kamar gue terbuka lalu gue dan Alif langsung diam di tempat.
"Ohh! Sorry sorry" Rally langsung menutup pintu. Gue menghembuskam nafas lega.
"Lo harus pulang." Gue mendorong Alif supaya dia berdiri.

"Ah gue bosen dirumah. Adam lagi pergi."
"Sama Kanya?" Alif menghadap ke gue dengan ekspresi bingung. "Kok jadi Kanya?"
"Bukannya mereka..have this thing?" Kata gue karena bingung mendeskripsikan hubungan mereka.
"Oh!.. Hah??"
"Lo gatau mereka bbman mulu? Ya ngga setiap hari juga sih tapi—"
"Boong lo?"
"Engga lah."
"Anjir gawat." Alif meletakkan tangannya di jidatnya.
"Kenapa?"
"Adam tuh suka mainin cewek."
"Hahaha sedangkan lo, bisa nya bikin cewek kesel."Ledek gue.
"Akhirnya cewek-cewek itu juga kesel sama Adam, jadi sama aja."Gue terdiam akan respon dia.
"Ya mungkin aja dia sama Kanya jalannya. Lo aja yang gatau."

"Iyasih," Alif menghembuskan nafas dan ngusap rambutnya. "Gue aja sampe ngga afal udah berapa cewek yang dia—" Omongan Alif terputus karena pintu gue dibuka lagi dan kali ini bukan Rally. Alif langsung menjauh dari gue dan beranjak dari kasur. Gue juga langsung berdiri dan jalan ke bokap.

"Malam Om. Saya Alif." Dia salaman sama bokap gue yang mukanya udah merah.
"Ra..Duluan ya, makasih udah benerin presentasinya." Kata Alif dengan muka santai.
"Kamu kesini sama siapa?" Tanya bokap.
"Supir,Om."
"Yaudah,hati hati." bokap nepuk pundak dia dan dia mengangguk lalu pergi.
"Kamu tau kan kalo saya bisa lihat orang bohong itu gimana?" Bokap menutup pintu kamar dan menyilang tangannya.
"Dia cuma mampir doang." Gue melihat sekeliling dan bukan ke muka nya.
"Baru pertama kesini atau?"
"Udah pernah. Waktu itu tugas kelompok."
"Jangan pernah bawa cowok lagi ke kamar selain keluarga. You know how I feel about that after your jerk of a boyfriend."
"Dan jangan ngomongin dia lagi," Gue menyilangkan tangan. Bokap menghembuskan nafas panjang dan akhirnya mencium kepala gue lalu keluar kamar. Bagus, pasti bokap makin ngga percaya sama gue dan nyokap tambah kecewa.

DilemaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang