Chapter 54

28.6K 1.3K 39
                                    

Kanya's POV

Bel istirahat pertama bunyi, dan mayoritas anak kelas gue pada keluar untuk ke kantin. Sedangkan gue berdiri di koridor depan pintu kelas, tepatnya di pagar balkon. Gue mengambil hp dari kantong rok dan dapet line dari Akbar yang masuk 10 menit yang lalu. Dia bilang mau kesini, nyamperin gue. Ya seperti biasa, semenjak kita pisah kelas, Akbar sering banget nyamperin gue di setiap kesempatan. Tapi gue rasa satu atau dua bulan lagi, dia bakal jarang kesini karena mulai deket sama temen-temen barunya. Gue mendengar suara ketawa familiar dari arah kiri gue. Pas gue nengok, Akbar menghampiri gue, diikuti seorang cowok tepat di sampingnya.

"Kanya," sapa Akbar, "Nih kenalin, Faras—orang yang nanyain lo mulu." Akbar pun mendorong cowok bernama Faras itu, yang akhirnya gue tau sosoknya yang mana.
"Lah? Apaansih Bar?" Gue tersenyum ketika dia akhirnya eye contact sama gue. Dia berlesung pipit, pake kacamata, badannya gak gemuk, gak kurus juga. Faras kulitnya hitam, dan belom senyum aja udah keliatan manis.
"Kanya," gue menyodorkan tangan gue ke dia dan awalnya keliatan kaget, tapi dia dengan santai akhirnya menerima lalu menjabat tangan gue. "Faras."

Ketika Akbar mau buka mulut untuk ngomong, dia terputus oleh Alif yang tiba-tiba di samping kita.

"Oy, Faras! Kelas berapa lo?" Tanya Alif sambil mereka tos ala cowok.
"MIA empat,Lif haha"
"Bar, gua ada perlu bentar sama lo." Alif langsung menarik Akbar dan si korban hanya menggerutu. Yak, gue jadi berdua doang sama Faras. Sepertinya gue bisa memanfaatkan pelajaran gombal dari Akbar.
"Jadi.. kata Akbar lo anak band,ya?" Tanya gue, memecah keheningan yang tadi diisi dengan saling menghindar eye contact.
"Iya haha.."
"SMP lo dimana,Ras?"
"Ada lah SMP yang mengkhususkan science sama art gitu. Gua anak orkes haha." Jawab Faras dan mengakibatkan lesung pipitnya terlihat jelas dan dalam. Oke gue iri.
"Ha? Demiapa?! Orkes main apaan?"
"Jangan ketawa."
"Iya santai aja."
"Biola," kata Faras singkat, padat, jelas. Gue berusaha untuk menahan ketawa gue dengan hanya tersenyum aja.
"Ih kok keren sih?" Kata gue.
"Yaudah..Kalau mau ketawa keluarin aja," kata Faras pasrah. Gue akhirnya ketawa dan memegang lengan dia secara reflek, "Ih ngga gituu, serius cowok main biola itu menurut gue gentle," kata gue dan tawa gue berhenti, sedangkan senyum Faras mulai mengembang sedikit.
"Kalau di band, lo mainnya alat musik apa?," tanya gue, "jangan bilang lo main biola?"
"Yakali dah Nya.. Coba tebak."
"Apaan? Cello?"
"Lucu ya, lucu." Kata Faras sambil memutar bola matanya.
"Yaudah si, apaan? Bass? Masa sama kayak Akbar?"
"Gue gak main alat musik."
"Vokalis? Wah." Kata gue kagum.
"Jadi backing vocal, Nya." kata dia datar
"Ihh serius Ras.."
"Iya, vokalis."
"Waduh boleh tuh di nyanyiin tiap malem." Tutur gue.
"Sini nomor lu."
"LINE aja deh, hemat pulsa."
"Yaudah, ntar gua voice message."
"Haha aduh Ras tadi tuh cuma bercanda."
"Oh gamau nih jadinya? Suara gue gak jelek-jelek amat kok,Nya."
"Yasudah kalau engkau memaksa," kata gue dengan nada pasrah, tapi aslinya seneng. Akhirnya gue tukeran contact sama Faras. Tepat setelah itu, Akbar akhirnya balik.

"Bar! Kok lo gapernah cerita kalo Faras vokalis?" Tanya gue.
"Cari tau sendiri lah," kata Akbar ketus. "Eh gue mau balik ke kelas. Ras, ikut gak?" Sebelum Faras bisa jawab, tiga orang cewek memanggil Akbar. Kita menoleh ke sumber suara. Ah tidak. Cewek-cewek ini. Mereka anak kelas sepuluh yang masuk basket.Yaa macam adek kelas yang genit. Kak Dimas dan Raihan aja udah sempat jadi korban. Untung kak Asha sigap menghampiri kak Dimas.

"Kak, aku Mika, ini Audrey dan Cita. Kita mau kasih undangan buat makrab. Kita mohon kehadirannya ya, kak Akbar." Mika memberikan undangan itu ke Akbar dan dia pun menerimanya dengan senyum yang paling bisa menaklukan hati para cewek. Sebelum itu, dia melirik ke gue karena dia tau banget gue ga suka sama tiga orang ini. Awas aja Akbar sampe ikutan genit.

"Makasih ya udah repot-repot kesini. Eh, kalian udah makan?" Tanya Akbar.

Wah ngeselin. Mata ketiga cewek itu langsung berbinar. Pipi Audrey merah, tangan Cita gemetaran.

DilemaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang