The Great Memories With Chloe: The Day When I Know Who I am.

16.8K 2K 226
                                    

She knows it's too late as she's walking on by
My soul slides away
"But don't look back in anger," I heard you say
(Don't Look Back in Anger, Oasis)

"Mas Yudhistira, buruan gih. Ntar aku telat." Anindita Chloe Kurniawan alias Dita, adik sepupuku yang masih duduk di kelas 1 SMU menggedor pintu kamar, ia meminta diantar ke sekolah kalau aku tidak ada kuliah pagi.

"Bentar. Aku lagi cuci muka." Aku segera menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar tidurku. Keuntungan sebagai anak laki-laki tertua, mendapat fasilitas terbaik termasuk kamar tidur yang dilengkapi kamar mandi di dalam, playstation, dan tentu saja televisi jika dibandingkan adik-adikku, Nakula dan Sadewa.

Setelah cuci muka dan gosok gigi, aku menemukan Dita tepat di luar kamar dengan wajah cemberut. Rambutnya dikuncir kuda seadanya, mengenakan seragam sekolah yang dilapisi jaket flanel dan membawa tas ransel. Ia bukanlah cermin gadis ABG sekarang pada umumnya, ia malah cenderung tomboy. Aku rasa wajahnya pun tidak ia bedaki. Ia menengadah menatapku sebal. Tubuh Dita memang imut, hanya setinggi dadaku. Wajar saja, tinggiku 185 sentimeter sedangkan ia hanya 158 sentimeter.

"Ngebut ya... kalo gak ngebut aku pasti telat, Mas."

Aku menyatukan jempol dan telunjukku membentuk simbol OK lalu kami berdua berjalan tergesa menuju carport, tempat motor sport milikku diparkir.

"Yudhistira, jangan ngebut ya. Hati-hati bawa motornya." Suara Mama terdengar dari pantry yang memang terletak di depan carport.

"Iya, Ma." Aku mengedip pada Dita dan gadis itu nyengir bersekongkol.

"Tenang, Ma. Kalau Mas Yudhistira ngebut, aku omelin." Dita menambahkan.

Motor kustarter dan Dita meloncat naik ke belakangku, lalu kedua tangannya memegang pundakku seperti biasa.

"Assalamualaikum, Ma. Kami berangkat." Aku berteriak pada Mama yang melongokkan kepalanya dari jendela dapur. Dita juga mengucapkan salam. Motor kupacu dalam kecepatan biasa dan begitu keluar dari komplek, Dita langsung memindahkkan tangannya ke pinggangku, memelukku erat, tanda ia sudah siap dengan aksi mengebut.

"Pegangan yang kencang, ya," ucapku pada Dita.

Segera aku mengubah kecepatan motorku dan melupakan pesan Mama. Aku menikmati lembut angin yang mengalir melalui helm full face yang kunaikkan bagian kacanya. Hangat tubuh Dita di belakangku juga memberikanku kedamaian, bersama dengan Dita memang selalu membuatku tenang. Adik sepupuku itu selalu tahu bagaimana membuatku nyaman dan semuanya selalu berada di dalam kendali jika aku bersamanya.

***

"Thanks, Mas Yudhis..." Dita memberikan helm padaku, mengerjap jenaka. Sesuai target, kami sampai di halaman sekolah dalam waktu 15 menit, tepat 10 menit sebelum bel sekolah berbunyi.

"Sama-sama. Ntar kalau aku nggak ke mana-mana, aku jemput kamu." Aku tersenyum pada Dita dengan semua pesona yang aku punya, sengaja aku lakukan karena sejumlah gadis SMU menatapku penuh kekaguman. Aku tahu wajahku adalah salah satu kelebihan yang diberikan oleh Tuhan padaku, selain juga otakku yang lumayan encer.

"Please deh, Mas." Dita memutar matanya sebal, ia paham benar dengan jenis senyum yang aku pasang. Senyum kali ini adalah senyum kakak yang baik, kakak yang sangat sayang pada adik perempuannya yang bisa membuat lutut para gadis meleleh.

"Ditaaaa!!!!" Seorang gadis yang kukenal bernama Nina, salah satu teman Dita, memanggil Dita dan berlari kecil ke arah adik sepupuku. Ia menggamit lengan Dita dan matanya mengerjap padaku menggoda.

"Eh, Mas Yudhistira..."

Aku mengangguk, tersenyum tipis sok cool.

"Halo, Nina. Apa kabar?"

My Perfect Polar BearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang