15. The Story of a Redhead Boy

5.8K 540 52
                                    

A/N : Maaf, untul sangat2 terlambat update cerita ini. Pasti udah pada bosen nunggu momen sasusaku-nya. Terakhir... nanti mereka ketemu lagi, kok. Beberapa chapter lagi bakalan tamat. Pokoknya maaf dan makasih buat yang udah nunggu ff ini :")
Aku semangat juga kalo begitu deh hehe ❤

Langsung aja, jangan ragu untuk vote. Kudoain satu bintang itu, satu kebaikan untukmu...

Happy Reading

.
.
.

Beberapa tahun lalu. Ketika kehidupan masih begitu pelik bagi seorang bocah berambut merah dan pecinta boneka kayu.

Dia bocah tujuh tahun. Dia terlahir di rumah bordil. Ibunya adalah penjaja seks komersial di tempat tinggalnya saat ini. Sekaligus, tempat ibunya bekerja. Dia juga tak pernah mengenal siapa ayahnya. Seingatnya, sang ibu selalu tidur dengan pria yang berbeda setiap hari. Desahan-desahan penuh dosa para pengunjung pria dan wanita-wanita yang bekerja di tempat itu bukanlah hal yang asing lagi baginya.

Dia Akasuna Sasori.

Kehidupannya tidak berjalan dengan baik sebagaimana mestinya kehidupan anak kecil seusianya. Bahkan, Sasori tidak melanjutkan sekolah sudah satu tahun belakangan karena sang ibu tak mau membayar biaya pembinaan pendidikan tiap satu bulan sekali.

Kelenggangan waktu Sasori selepas berhenti sekolah dimanfaatkan oleh pemilik rumah bordil. Dia dipekerjakan sebagai pelayan yang bertugas membawa makanan kecil dan minuman. Atau, membersihkan penginapan dan pemandian air panasnya. Sesekali Sasori juga disuruh untuk membeli sesuatu ke luar.

Suatu hari pihak berwajib melakukan ekspedisi pemeriksaan ke tempat-tempat terpencil di sekitar Tokyo. Mereka mendapati rumah bordil berkedok pemandian air panas dan penginapan yang saat itu masih ilegal keberadaannya di daerah tempat tinggal Sasori. Penyergapan dilaksanakan oleh para tim ekspedisi demi menahan para pekerja di sana dan siapa saja yang terlibat.

Saat penggerebekan, Ibu Sasori saat itu menggeret lengan putranya. Berlari sekencang mungkin menuju pintu keluar di belakang gudang.

"Pergilah!" Wanita itu melempar lengan Sasori. "Aku tak mau melihatmu lagi."

"Tapi, Bu—"

"Kubilang cepat pergi!"

"Tapi aku tak ingin jauh-jauh darimu, Ibu."

"Apa yang kau harapkan dari Ibu tidak berguna sepertiku?" Dia mencengkram bahu kecil Sasori.

Mata anak itu mulai berkaca-kaca. Sasori tak peduli seberapa banyak ibunya memarahi, memukul dan menghina anak kecil seperti dirinya. Bahkan, bila sang ibu bersikap tidak baik di lingkungan masyarakat. Sasori kecil hanya ingin dicintai, dianggap berharga oleh orang yang telah melahirkan dia ke dunia ini.

"Aku bahkan tidak akan sanggup membayar jika kau ikut tertangkap," sambung ibunya.

"Kumohon, jangan buang aku, Ibu." Sasori terisak-isak. Hidungnya memerah beserta air ingus yang mulai keluar.

Melihatnya, membuat hati ibu Sasori teriris. Sebenci-bencinya dia pada Sasori, tetapi tetap dialah yang melahirkannya. Anak itu adalah darah daging dan penerus harapannya. "Pergilah, Sasori."

"Jangan usir aku, Ibu. Jika aku pergi, aku tidak memiliki orang yang berharga lagi di dekatku."

"Harusnya kau tidak terlahir ke dunia."

"Maaf, Ibu."

"Tidak pernah ada yang mengharapkanmu ada di dunia ini."

"M-maaf...."

Moon In The PurgeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang