Aku menangkap basah Dovan beberapa kali menoleh kepadaku, entah ketika guru tengah menjelaskan materi, entah ketika tangannya tengah sibuk-sibuknya menyalin materi di papan tulis.
Namun satu hal yang pasti, Dovan selalu berpaling begitu aku turut menoleh ke arahnya.
Sampai terakhir kalinya Dovan menoleh, aku dengan tegas memandangnya. "Van, boleh aku bicara?" tanyaku tanpa keraguan setitikpun.
Dovan diam sejenak. Tanpa memutar kepalanya ke arahku, ia melirik sedikit. Kecepatan tangannya menulis berkurang sedikit demi sedikit. Kemudian aku dapat satu jawaban: Dovan menggeleng.
"Sedikit pun?" tanyaku lagi.
Dovan tetap diam. Lalu tidak ada respons apapun lagi yang kudapatkan. Bola matanya kembali fokua kepada kertas bergaris di atas mejanya. Tangannya kembali bergerak dengan kecepatan normal.
Aku sepenuhnya diabaikan.
Pertama-tama, aku menyerah. Tapi ketika bel istirahat dikumandangkan—sekitar dua jam setelahnya—aku kembali menatapnya.
"Van," panggilku pelan.
Dovan hanya merespons dengan gumamnya secara acuh tak acuh.
Melihat kursi di sebelah kanan Dovan kosong, aku lantas mengisinya. "Van, aku minta maaf," tuturku dengan suara pelan. Sangat pelan, bahkan kuyakin hanya Dovan dan Tuhan yang mendengarnya.
Dovan bergumam lagi. "Buat apa? Bukannya minta maaf juga enggak akan merubah apapun?" balasnya pelan namun tetap dengan nada ketus. "Lagi pula, kita udah putus. Kenapa harus bahas hal-hal yang udah bukan jadi kewajiban kita?"
Bibirku mengerucut ketika mendengarnya. Laki-laki itu kemudian menaruh penanya. Ia pergi meninggalkan kursi yang ditempatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Penghujung Februari
Short StoryAku ingat bagaimana semuanya jadi seberantakan ini hanya karena kamu bilang, "Kita cukup sampai di sini." Aku ingat betul hari itu. Di penghujung Februari, semuanya berakhir. © Februari 2018 by Kansa Airlangga