"Menurut lo, gue mesti gimana, Ko?" aku memeluk bantal sofa yang tersedia di dekat Ariko dan aku. Laki-laki yang masih mengenakan baju koko serta celana abu-abu itu menoleh kepadaku dalam diam, sambil terus mengunyah kue kering.
Setelah beberapa detik Ariko diam dan mungkin berpikir, ia akhirnya memberikan suaranya, "Balikan lah."
Gantian aku yang diam. Kualihkan pandanganku ke layar televisi, lalu merebut remote yang ada di tangannya.
"Sa, dengerin gue, deh," pintanya. Aku tetap diam dan terus-menerus mengganti saluran televisi. "Lo udah dua tahun kali Sa, sama Dovan. Walaupun gue enggak tau banget kalian gimana, tapi gue juga pernah pacaran. Gue tau gimana rasanya diputusin, gue tau gimana rasanya enggak didengerin, dan gue juga tau gimana rasanya ada di posisi Dovan."
Aku mematikan televisi, kemudian memutar badanku hingga aku duduk berhadapan dengan Ariko. Kudengarkan segala omongannya sore ini.
"Semua orang pernah nyesel, Sa. Terus coba deh lo pikir. Kalian dua tahun pacaran, kenapa sih harus putus cuma karena masalah sekecil ini? Dovan salah paham soal lo yang mau kasih surprise di hari jadian kalian. Cuma sekecil itu."
Aku mengerlingkan mataku, "Ko, dia sempet enggak mau dengerin gue. Egois tau, enggak?"
"Lalu sekarang lo yang enggak mau dengerin dia, Sa," katanya. "Lo juga egois berarti. Kalian sama-sama egois. Come on, kalian pacaran berdua, jangan saling mikirin diri sendiri. Apa yang Dovan lakuin itu enggak harus lo balas dengan sikap yang sama, Sa. Apalagi yang buruk. Jangan balas dengan hal buruk juga, tapi ajarin Dovan buat memperbaiki."
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Penghujung Februari
Короткий рассказAku ingat bagaimana semuanya jadi seberantakan ini hanya karena kamu bilang, "Kita cukup sampai di sini." Aku ingat betul hari itu. Di penghujung Februari, semuanya berakhir. © Februari 2018 by Kansa Airlangga