"Sa, enggak pulang?" suara yang benar-benar tidak asing itu membuatku langsung menengadah, mendapati Dovan berdiri di depan halte yang jadi tempatku berteduh dari derasnya hujan yang turun sore ini.
Aku menggangguk pelan. "Iya Van, nanti. Masih hujan."
Dovan melirik ke atas kepalanya. Melihat payung hijau tosca yang digenggamnya erat. Laki-laki itu kemudian menaruh payungnya, dan duduk di sebelahku. Membuatku lantas bergeser menjauh darinya beberapa inchi.
"Sa, maaf," tuturnya.
Aku mengangguk.
"Sa, maafin aku," katanya lagi.
Aku kembali mengangguk. "Aku selalu maafin orang lain, sebesar apapun kesalahannya. Jadi kamu enggak perlu khawatir," balasku acuh tak acuh.
Dovan meraih tanganku yang tengah menggenggam ponsel. Genggaman eratnya menciptakan rasa hangat yang tidak pernah bisa kutolak.
"Sa, aku salah," akunya.
Sekali lagi, aku mengangguk mengiyakan. "Aku tau kamu salah. Lalu kenapa? Semua orang juga pernah buat kesalahan. Termasuk aku."
Dovan berdesah berat. "Sa, udah, ya. Ayo kita kembali seperti semula," ajaknya.
Aku kali ini balik menatapnya. "Seperti semula?" tanyaku diiringi dengan kekehan. Dovan mengangguk mantap. "Semulanya kita asing. Lalu sekarang kita kembali asing. Udah seperti semula, kan? Kamu sekarang adalah Dovan yang kukenal di hari pertama kita ketemu. A-sing."
Tangan Dovan semakin erat merekat.
"Alyssa, aku serius," katanya dengan wajah sok memelas. "Kita baikan dan balikan, ya?"
Aku menggeleng, meskipun hatiku berusaha keras menjerit, bahwa ia ingin kembali kepada Dovan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Penghujung Februari
Historia CortaAku ingat bagaimana semuanya jadi seberantakan ini hanya karena kamu bilang, "Kita cukup sampai di sini." Aku ingat betul hari itu. Di penghujung Februari, semuanya berakhir. © Februari 2018 by Kansa Airlangga