Ujian nasional semakin hari semakin dekat, dan aku semakin tidak tahu bagaimana caranya agar bisa fokus hanya terhadapnya. Yang kupikirkan hanya Dovan, Dovan lagi, Dovan, dan bagaimana caranya aku melupakan Dovan.
Siang ini, sudah kukumpulkan berbagai macam barang-barang yang berhubungan dengan Dovan. Entah itu foto bersamanya, gelang couple dengannya, buku catatan dengan kover sama, atau gantungan-gantungan kunci yang jumlahnya lumayan banyak.
Sejak dua tahu silam, inilah sederet benda yang selalu kusimpan rapi. Selalu kujaga. Tidak pernah kubiarkan orang lain menyentuhnya meski hanya sebentar. Aku hanya ingin semua ini milikku bersama Dovan.
Namun tidak dengan sekarang. Mau tidak mau, sanggup tidak sanggup, hari ini aku akan menyingkirkan barang-barang ini dari penglihatanku.
Semuanya sudah kusatukan di dalam satu kardus besar yang setelah ini akan kusimpan. Aku bahkan melekati banyak selotip supaya tidak mudah membukanya.
Selamat tinggal, Dovanda.
"Sa! Dovan nih!" Suara Kakak laki-lakiku terdengar dari lantai satu, membuat tanganku langsung berhenti bergerak.
Dovan?
Sekadar ingin memastikan, aku keluar dari kamar, menuruni satu per satu anak tangga, kemudian melihat ke teras. Tebak! Laki-laki dengan kemeja putih polos dan celana jeans biru dongker itu duduk di kursi sambil memainkan ponselnya.
Ketika aku berdeham, ia menoleh, lalu bilang, "Sa, makan siang, yuk."
Dahiku mengernyit. Makan siang?
"Ngapain? Kok makan siangnya sama aku?" tanyaku ketus, meski tidak bisa aku berbohong, bahwa sebenarnya hatiku berteriak kegirangan.
"Sa, aku harus bicara sama kamu," katanya.
Namun, aku justru menyahut dengan gelak tawa. "Enggak ada yang perlu dibicarakan lagi, Dovan."
Aku kembali masuk, kemudian menutup dan mengunci pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Penghujung Februari
Historia CortaAku ingat bagaimana semuanya jadi seberantakan ini hanya karena kamu bilang, "Kita cukup sampai di sini." Aku ingat betul hari itu. Di penghujung Februari, semuanya berakhir. © Februari 2018 by Kansa Airlangga