"Apa siang ini Ariko bakal duduk di sini lagi kayak waktu itu?" Satu-satunya hal yang membuatku terkejut siang ini adalah hadirnya Dovan di meja yang sejak tadi kutempati sendiri.
Satu nampan berisi semangkuk bakso dan segelas es teh ia letakkan di atas meja, sontak membuatku menyingkirkan sedikit gelas minumanku.
"Kapan?" tanyaku.
"Sabtu lalu, sewaktu istirahat setelah pendalaman materi," katanya seraya mulai menyendokkan sesuap mi dan seperempat baksonya. "Kalau Ariko duduk di sini, aku enggak akan di sini."
Aku menggeleng.
Dovan hanya mengangguk beberapa kali, kemudian abai dengan keberadaanku. Ia datang di depanku hanya untuk makan, meskipun tampak juga seperti memberiku akses bebas untuk memandanginya dari dekat.
"Van," panggilku di tengah-tengah kegiatannya.
Dovan hanya bergumam tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali kepadaku.
"Kita... putus?"
Tangan Dovan berhenti bergerak. Sekarang matanya menyorot kepadaku. Namun aku tidak menantangnya dengan cara balik menatapnya seolah-olah aku benar-benar berani.
Aku justru... takut. Pandanganku langsung jatuh ke meja kayu di antara kami. Jantungku berdebar. Kencang. Benar-benar kencang, persis seperti ketika Dovan baru saja menembakku, dua tahun silam.
"Apa kita masih harus bahas sesuatu yang bukan lagi jadi urusan kita?" tanyanya.
Aku diam, geming.
"Bukannya semua udah jelas? Aku akhiri semuanya. Lagi pula, penglihatanku udah tangkap kamu dekat sama Ariko. Jadi untuk apa kamu masih coba buat kembali ke aku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Penghujung Februari
Short StoryAku ingat bagaimana semuanya jadi seberantakan ini hanya karena kamu bilang, "Kita cukup sampai di sini." Aku ingat betul hari itu. Di penghujung Februari, semuanya berakhir. © Februari 2018 by Kansa Airlangga