Hujan turun dengan deras sore ini. Sangat deras. Persis seperti hari di mana Dovan memutuskan untuk mengakhiri hubungannya denganku.
Sejak tiga puluh menit silam, yang kulakukan hanya berdiri di bawah derasnya rintik air yang turun, juga di bawah payung hijau tosca yang sampai sekarang masih jadi salah satu barang favoritku, sebab ini adalah payung yang kubeli bersama dengan Dovan.
Telapak tanganku sesekali terbuka, menerima rintik air yang jatuh bergerombol.
Dua menit setelahnya, payungnya kusingkirkan dari atas kepalaku. Rintik demi rintik hujan tak hanya jatuh ke telapak tanganku, melainkan juga ke atas kepalaku yang tidak lagi dilindungi payung.
Helaan napasku beberapa kali kudengar sendiri. Mataku pelan-pelan terpejam. Dengan usaha penuh, kunikmati air yang jatuh bebas meski tak tahu tempat.
"Jangan hujan-hujanan, Alyssa."
Hanya satu suara itu yang membuatku kembali membuka mata. Aku yakin itu Dovan!
Dengan antusias penuh, aku menoleh ke belakang, melihat laki-laki berbalut seragam putih khas siswa SMA. Di tangan kanannya ada payung yang tidak melindungi dirinya, namun satu hal yang membuat senyumku luntur adalah payungnya bukan hijau tosca.
Itu bukan Dovan.
"Kenapa?" tanyaku acuh tak acuh.
"Nanti sakit," katanya diikuti senyum lebar nan manis setelahnya.
Aku balik tersenyum kepadanya. "Ariko juga hujan-hujanan. Kenapa?"
Langkahnya semakin dekat. Sesekali membuat genangan air tersebar ke sembarang arah. "Karena Alyssa hujan-hujanan."
"Kenapa karena Alyssa?"
Ariko hanya merespons dengan senyum, sambil mengedikkan bahunya. Kemudian ia melanjutkan langkahnya.
Aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Penghujung Februari
Короткий рассказAku ingat bagaimana semuanya jadi seberantakan ini hanya karena kamu bilang, "Kita cukup sampai di sini." Aku ingat betul hari itu. Di penghujung Februari, semuanya berakhir. © Februari 2018 by Kansa Airlangga