Sejak pagi tadi, satu-satunya hal yang membuatku penuh rasa penasaran adalah punggung tangan kiri Dovan yang sebagiannya tertutup kasa putih dengan dua lembar plester yang melekatinya.
Aku melihatnya dengan jelas, sebab meja Dovan masih berada di sebelah kananku.
"Berhenti ngelihatin tanganku," pinta Dovan sambil menyingkirkan tangannya dari atas meja. Sontak lamunanku buyar saat itu juga. Aku melihat ke arahnya. Ada goresan kecil di bawah matanya.
"Kamu kenapa luka?" tanyaku.
Dovan menggeleng. "Karena luka," katanya singkat.
Aku hanya mengangguk pelan tanpa bicara lagi. Kurasa memang sudah sepatutnya aku yang bergerak mundur meskipun Dovan selalu bergerak maju.
Sudah waktunya aku membiarkannya memilih ke mana ia ingin melangkah. Sekalipun Dovan akan melangkah tanpaku.
Aku harus bisa.
Kuhela napasku. Kupastikan di kelas tidak ramai. Lalu kukatakan dengan tegas kepada Dovan: "Van, kalau memang kita harus berhenti di sini, oke, aku berhenti."
"Memang kita harus udah berhenti, Alyssa. Yang belum berhenti itu cuma kamu," balasnya acuh tak acuh.
Senyumku terbit. Kuanggukkan kepalaku.
"Kalau gitu, terima kasih untuk dua tahunnya, Van," tuturku sambil berusaha keras menahan tangisku yang semestinya sudah tumpah.
Dovan tak memberikan respons. Laki-laki itu semakin menyibukkan dirinya menulis di buku catatannya.
Setelah itu juga tidak ada lagi percakapan di antara kami.
Bahkan, mungkin hari-hari setelah ini, kami akan kembali asing. Bukan lagi Dovanda dan Alyssa yang biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Penghujung Februari
Короткий рассказAku ingat bagaimana semuanya jadi seberantakan ini hanya karena kamu bilang, "Kita cukup sampai di sini." Aku ingat betul hari itu. Di penghujung Februari, semuanya berakhir. © Februari 2018 by Kansa Airlangga