Kali ini ganendra benar menjemputku, dia menungguku di depan gerbang sekolah dengan kaos oblong yang di balut jaket biru dongker dan celana levis 3/4. Padahal sederhana tapi kenapa terlihat sangat tampan? Ya Tuhan.
"Hai," sapaku
"Hai, ayo naik, kita makan dulu ya"
"Dimana?"
"Dago atas, gapapa?"
"Ayoo,"Baru saja kami sampai tiba tiba ponselku bergetar, saat aku coba periksa yang menelpon dari telepon rumah Ganendra, entah kenapa perasaanku tiba tiba jadi tidak enak, gelisah, takut, semuanya campur aduk.
"Siapa, wulan?"
"Rumahmu.." ku jawab hati hati,Wajah ganendra juga tidak jauh beda dengan perasaanku, seketika ia terlihat takut. Aku memberi ponselku pada ganendra, biar dia saja yang menjawabnya.
"Halo?"
"Ada apa bi?"
"Apa?"
Wajah ganendra menunjukkan rasa takut, benar benar terlihat jelas. Aku rasa bibi baru saja memberitahu hal yang buruk pada Ganendra.
"Aku kesana sekarang!"
Ganendra langsung memberikan ponselku dan membawaku pergi, aku tidak berani bertanya, tapi aku sangat yakin dari wajah ganendra sesuatu yang buruk baru saja terjadi, bahkan terlihat seperti akan berpengaruh pada kehidupannya.
Di motor ganendra fokus menyetir, kecepatannya bertambah dua kali lipat dari biasanya ia membawa motor, aku memegangi jaketnya erat, sesekali bersandar pada punggungnya yang lebar seakan membagi energi, aku tau tidak ada efek apa-apa tapi aku merasa lagi lagi ganendra butuh perhatian lebih.
Aku kaget bukan main, ganendra membawaku kerumah sakit, dia membawaku ke UGD, disana sudah ada si bibi dan juga 2 orang pegawai kedai yang sangat akrab dengan keluarga ganendra, kalau gak salah namanya Teh Euis sama Kang Rehan.
"Gimana ibu?!" Tanya ganendra panik,
"A-anu, Ga, ibu .. ibu jatuh di kamar mandi, kepalanya terbentur keras," kata Teh euis sangat hatihati
"K-kata dokter terjadi penggumpalan pada bagian belakang kepalanya dan putusnya beberapa syaraf di otaknya," kata teh euis lagi.Ganendra tersungkur di lantai, matanya merah menahan air mata, tapi tidak mampu hingga akhirnya jatuh lah air itu. Untuk kedua kalinya, aku melihat Ganendra selemah ini, aku hampir menangis tapi aku tahan, aku tidak ingin menambah beban ganendra.
Aku lihat bibi juga sudah menangis, duduk di bangku tunggu sambil berkomat-kamit membacakan beberapa surah pendek, Teh Euis juga menangis sambil berdoa, Kang Rehan tidak menangis namun wajahnya menunjukkan rasa takut dan gelisah, ia mondar mandir di depan pintu UGD tempat ibu Ganendra berada didalamnya.
Aku duduk disamping ganendra yang masih bersandar di tembok dan duduk di lantai, aku mengusap pelan punggungnya, lalu aku raih jemarinya yang sudah membiru dan dingin, wajahnya pucat, ganendra kali ini lebih terlihat sangat terpuruk, bahkan dia tidak peduli aku melihat air matanya jatuh.
"Sabar, ga. Ibu pasti baik baik aja," kataku sambil menggenggam erat jemarinya.
Dunia, baru kemarin dia tertimpa musibah, perihal Kedainya yang hangus terbakar saja rasa sesaknya masih tersimpan di dadanya, lalu sehari setelahnya kamu justru malah membuat satu satunya orang tua yang ia miliki saat ini berada diambang maut?
Dunia, harus ya kamu sekejam ini padanya? Harus ya? Hei, dunia coba jawab aku! Kalau bisa aku marah padamu, aku marah kamu terlalu kejam untuk seseorang seperti Ganendra. Mau berapa banyak luka yang akan kamu buat di hatinya,dunia?
Kemarin kedai, sekarang ibunya, lalu besok apa? Besok siapa? Ah. Aku kesal sekali disaat seperti ini dunia mengabaikan amarahku, dunia, aku mohon berbaiklah kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ganendra
Teen Fictionawalnya kupikir pertemuan itu hanyalah sebuah kebetulan, ketidaksengajaan yang tidak akan berlanjut, namun ternyata kisah yang diberikan Tuhan tidak dapat di tebak. bermula pada pertemuan di halte dekat sekolah dan terus berlanjut menjadi sebuah kis...