#BAB XIV

717 42 1
                                    

Sudah seminggu semenjak kepergian ibunya aku tidak lagi mengenal Ganendra, Ganendra tidak nafsu makan, bicaranya sangat irit, dia juga tidak menjemputku. Maksudnya bukan aku berharap tapi biasanya Ganendra sangat semangat tapi sekarang senyum manis diwajahnya hilang, rambutnya tidak lagi rapih jadi sedikit berantakan ya walaupun itu membuatnya semakin tampan tapi tetap saja aku tidak suka melihatnya seperti itu.

Sudah seminggu tiap pulang sekolah aku datang kerumahnya, hanya untuk sekedar cek keberadaannya dan kesehatannya walaupun sekali lihat langsung tau wajahnya masih saja pucat. Ganendra tiap aku datang selalu tersenyum, tapi itu bukan senyumnya, senyum itu seakan dia tunjukkan hanya untuk memberitahu padaku 'aku akan baik baik saja,wulan. Kamu tidak perlu khawatir' jadi aku tidak suka senyum yang tidak tulus dan memaksa di bibirnya itu.

Sekarang aku sudah sampai di depan rumahnya, rumahnya yang sederhana namun cukup besar kalau hanya diisi oleh Ganendra sendiri atau ditemani si Bibi.

Aku masuk, dan mendapati Ganendra tertidur cukup pulas di Sofa ruang tamu dengan tubuh yang ia tutupi selimut. Tangan kirinya jatuh ke lantai dan disana tergenggam erat sebuah bingkai foto, bingkai yang isinya foto Ganendra umur 5 tahun, ibu, dana ayahnya. Bingkai yang akhir akhir ini selalu di pandang dan dijaga oleh Ganendra karena hanya itu cara ia melihat wajah kedua orangtuanya yang kini tak bisa di lihat.

Aku duduk di dekatnya, menatap wajahnya yang sangat damai ketika tertidur, rambutnya yang menjadi sedikit acak-acakan dan bulu mata panjang yang menyapu kantung matanya. "Jangan seperti ini Ga,"

"Ngapain lo disini?"

Aku terkejut, mendengar suara itu. Setelah menoleh ternyata ada Dara, dia seperti baru saja datang dari dapur karena dia membawa segelas air. Dara juga datang saat pemakaman ibu Ganendra, bahkan setauku Dara juga selalu datang ke rumah Ganendra seperti aku semenjak ibunya pergi.

"jenguk," ku jawab
"gausah sok jenguk-jenguk deh! lo sadar gak sih, semua ini gara-gara lo?!"
"hah? k-kok aku?"
"halah! Sok gangerti lagi lo, harusnya lo sadar dari awal, kalau aja Ganendra gak jemput lo waktu itu, mungkin ibu dia masih bisa hidup sekarang! Lo tau kan, ibunya Ganendra meninggal karena terlalu lama dibawa kerumah sakit, coba aja lo gak usah alay minta jemput jemput segala, mungkin semuanya bakal baik-baik aja, mungkin Ganendra gak akan seterpuruk ini!"

Kata kata yang keluar dari mulut Dara barusan membuat hatiku sakit, entah mengapa aku tidak terima kalau dibilang sebagai penyebab dari segalanya, tapi aku tau semua yang diucap Dara benar. Kalau saja aku tidak terima tawaran Ganendra yang mau menjemputku, kalau saja aku tidak terima tawaran Ganendra yang mengajakku makan, mungkin semua akan baik baik saja.

Aku diam, air mataku jatuh tanpa perintahku. Dara menatapku penuh rasa benci dan marah, dan ada juga cemburu. Aku diam tidak berani memancing keributan yang malah akan membuat wajah damai tidur milik Ganendra menjadi hilang.

"Udah lama gua gak liat Ganendra kayak gini, terpuruk gini. Gua gak pernah liat lagi semenjak kepergian ayahnya dan semenjak gua yang harus pindah, tapi gua rasa semua bakal baik baik aja sampai gua balik kesini asalkan lo gak pernah ganggu Ganendra! Asal lo gak datang ke hidupnya Ganendra! Gausah nangis! Terima aja kenyataan kalau lo itu memang pembawa sial!"

"Lo sadar gak sih, selama lo kenal Ganendra itu sebenarnya lo gak tau apa-apa tentang Ganendra! Makanya lo asik asik aja tanpa pernah mikirin apa yang dia rasain. Lo tuh bego ya?"

Kali ini air mataku benar benar jatuh deras, aku merasa semua yang dibicarakan Dara adalah benar. Aku tidak tau apa-apa tentang masa lalu Ganendra, aku tidak kenal siapa Ganendra sebenarnya, aku hanya terlalu menikmati waktu bersamanya sampai lupa sebenarnya aku ini sedang dengan siapa.

Ganendra terbangun, ia mengerjapkan matanya sampai sempurna dan ku lihat matanya membulat menatapku, tidak, lebih tepatnya melihat air mataku. Lalu kemudian menatap tajam Dara yang sedang berdiri sambil meletakkan bingkai foto yang ia bawa tidur itu diatas meja lalu berdiri disampingku, aku ikut berdiri. Dara terlihat cukup panik namun sisa amarahnya masih ada di kedua bola matanya.

GanendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang