Suasana kantor pagi ini sudah mulai ramai. Lana terus melenggang melewati lobi dan masuk menuju lift. Ia tak peduli dengan tatapan para karyawan lainnya, terutama tatapan iri para karyawan wanita karena dirinya beruntung menjadi sekretaris Pascal. Hampir semua karyawan tak ada yang tahu jika ia adalah anak dari pemilik perusahaan dan adik dari sang CEO tampan yang menjadi idola mereka. Hanya beberapa orang terpercaya saja yang tahu. Hal ini sengaja dilakukan atas permintaan Pascal yang menjadikan Lana sebagai penghalang bagi mereka yang ingin menggodanya dan selalu mencari perhatiannya dengan cara berlebihan. Jika mereka tahu kalau Lana adalah adiknya, yang ada mereka berlomba-lomba untuk mencari simpati lewat Lana dan tentu saja itu akan berpengaruh pada kenyamanan adiknya di kantor ini. Lana berjalan menuju ruangan kakaknya dan menaruh tas hijau toskanya di meja kerjanya. Ia melirik pintu ruangan kakaknya yang tertutup. Pasti kakaknya sudah mulai sibuk saat ini. Ia mengambil berkas yang baru selesai kemarin dan belum diberikan pada Pascal. Ia beranjak dari duduknya sambil membawa berkas yang dibutuhkan dan berjalan menuju ruangan kakaknya. Setelah mengetuk pintu dan dipersilakan masuk ke dalam, ia membuka pintunya dan dilihatnya Pascal yang sedang serius menatap layar di hadapannya. Ia menggelengkan kepalanya. Kakaknya benar-benar workaholic sejati.
"Mukanya bisa kan Kak gak kayak robot gitu?" Pascal mengalihkan pandangannya dari layar di depannya pada adiknya yang menaruh berkas di mejanya.
"Semuanya sudah selesai, 'kan?" Lana mengangguk. Ia duduk di kursi yang berhadapan dengan kakaknya. Ia menatap Pascal sejenak.
"Kakak kapan sih mau kenalin calon istri sama keluarga? Usia kakak udah 28 sekarang. Papa, Mama, aku, dan Jeje pengen lihat Kakak bahagia sama pasangan Kakak." Pascal tersenyum mendengar ucapan adiknya.
"Kalau sudah ada yang pas, Kakak pasti kenalin sama kalian." Lana mendengus.
"Alasan basi ah, Kak. Kakak itu tampan. Banyak cewek yang mau sama Kakak. Kakak tinggal pilih salah satu dari mereka. Jangan pacaran sama kerjaan aja." Pascal tertawa.
"Untuk pasangan hidup, tak semudah itu, Lana. Kakak hanya ingin menikah sekali seumur hidup." Lana hanya mengangguk.
"Ya, ya, terserah Kakak aja. Pokoknya, aku pengen cepet-cepet minta kakak supaya ngelamar seorang gadis di tahun-tahun ini." Pascal hanya tertawa melihat wajah merengut adiknya seperti merengek meminta mainan kepada ayahnya. Calon istri? Satu hal yang sering Pascal lupakan selama ini.
***
Lana mengobrol heboh sambil tertawa bersama kedua sahabatnya sewaktu SMA. Sepulang kerja, ia memutuskan untuk jalan-jalan dan belanja dengan mereka. Beberapa paper bag sudah penuh dalam genggaman tangan mereka. Satu kebiasaan buruk Lana, ia sangat gila berbelanja semenjak ia masih SMA. Ia seringkali ditegur mamanya agar tidak boros dan membuang uang untuk membeli sesuatu yang tidak begitu penting. Tapi, sampai sekarang ia belum bisa untuk belajar menghemat dan seperlunya apabila sudah terjun belanja.
"Eh..., minggu depan, keluarga gue bakalan ngadain acara kecil-kecilan di villa milik kami di Bandung. Lo mau pada ikut, gak? Ada sepupu gue yang ganteng lho, Lan." ucap Hana sambil melirik Lana. Lana dan Milda tertawa.
"Pas hari libur gak acaranya?" tanya Milda.
"Iya. Kan minggu depan tanggal merah. Kita refreshing buat ngilangin stress. Gimana?" Lana terlihat berpikir sejenak. Berlibur ke villa? Sepertinya ide yang bagus.
"Emm..., oke, deh. Nanti gue bilang dulu sama ortu." Hana mengangguk.
"Lan, coba lo lihat ke sana!" Lana mengikuti arah telunjuk Milda yang menunjuk ke arah sebuah jejeran toko. Ia mengerutkan keningnya. Ia seperti mengenal lelaki yang sedang menggandeng mesra si perempuan sambil melenggang masuk ke dalam sebuah kafe di sana.
"Bukannya itu si Barra? Wah..., baru beberapa hari dia putus sama lo, udah dapet mangsa baru aja." Lana menyeringai. Lelaki itu selalu menuduhnya selingkuh, dan ia mendapati justru lelaki itu yang berkhianat di belakangnya. Ia tebak, pasti mereka sudah dekat saat ia masih terikat hubungan dengan Barra melihat kemesraan mereka berdua. Dasar lelaki brengsek! umpatnya dalam hati.
"Gue gak peduli. Dia bukan siapa-siapa gue lagi." kedua temannya mengangguk setuju.
"Udah lah, Lan. Masih banyak kok cowok yang lebih baik dari dia. Kan ada duda tetangga lo itu. Atau lo mau sama sepupu gue?" Lana tertawa.
"Gimana nanti aja lah, Han."
Drrtt ... drrttt ....
Lana mengambil ponselnya dan mendapati satu pesan masuk. Senyum mengembang dari bibirnya. Ia membuka pesannya.
'Siang, Lana. Kamu lagi apa?'
Lana masih tersenyum saat membaca pesan singkat dari Akmal. Semenjak mereka bertukar nomor malam itu, mereka lebih sering berkomunikasi lewat pesan. Lana merasa senang dan nyaman dengan lelaki itu. Ia merasa, kehadiran lelaki itu seakan memberi warna baru di hidupnya. Belum pernah ia merasa senyaman dan se-enjoy ini dengan seorang lelaki, bahkan dengan mantan-mantan pacarnya sekali pun. Ia tak peduli dengan status duda beranak dua yang melekat dalam diri lelaki itu.
"Dapet pesan dari siapa, Lan? Dari bahasa tubuh lo..., gue tebak lo dapet pesan dari gebetan lo. Iya, 'kan?" tanya Milda dengan nada menggoda. Lana tersenyum.
"Ada aja. Gak kepo, ya...." Milda dan Hana mendengus.
"Gak asyik ah lo, Lan...." Lana hanya tertawa. Mereka memutuskan untuk pulang setelah seharian ini puas berbelanja dan berkeliling ke sana kemari menghilangkan penat dan jenuh.
***
Suara orang yang mengaji terdengar begitu indah dan menyejukkan hati. Lana baru saja pulang dari rumah Tanya dan melewati mesjid karena rumah sahabatnya itu tak jauh dari mesjid komplek. Entah kenapa, semenjak pertemuannya dengan Akmal di mesjid malam kemarin, ia ingin bertemu dengan lelaki itu lagi. Dan ia tahu jika Akmal selalu rajin pergi ke mesjid. Pergi ke rumah Tanya adalah salah satu cara yang tepat agar ia bisa selalu bertemu dengan lelaki itu tanpa ada yang curiga. Ia sengaja pulang saat para warga bubar sholat isya agar ia bisa bertemu lagi dengan lelaki itu dan kali ini, ia tak melihat batang hidung Akmal saat para jama'ah bubar dari mesjid. Ia sempat kecewa. Penasaran, ia memberanikan diri untuk melangkah menuju mesjid. Ia berjalan dan berhenti di depan pintu. Ia hanya melongokkan kepalanya ke dalam dan dilihatnya ada sekitar 6 orang yang sedang mengaji di sana. Ia memicingkan matanya saat melihat Akmal dengan peci putihnya yang ikut bergabung mengaji di sana. Lelaki itu sedang fokus menundukkan wajahnya menatap ayat-ayat suci Al-Qur'an yang dipegangnya. Jantungnya mulai berdegup kembali dan kali ini terasa lebih kencang saat mendengar suaranya yang sedang melantunkan ayat suci dengan begitu indah dan menenangkan hati. Lana semakin takjub dan kagum pada lelaki itu. Ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari sosok tampan yang tanpa disadarinya sudah mencuri hatinya sejak pertemuan pertama mereka di malam sialnya itu. Ia terpesona dengan aksi heroik lelaki itu yang telah menyelamatkannya dari kenekatan Barra. Akmal menolehkan wajahnya dan matanya tak sengaja menangkap Lana yang sedang berdiri di depan pintu mesjid dan memandang intens ke arahnya. Ia mengerutkan keningnya. Sejak kapan Lana berdiri di situ? Lana yang tersadar sudah terlalu lama memperhatikan Akmal dan disadarinya lelaki itu sudah menatap ke arahnya, dan juga yang lainnya yang ikut menolehkan wajahnya ke arah Lana. Wajahnya langsung memanas dan memerah karena malu. Ia hanya mengangguk sambil tersenyum salah tingkah kepada mereka dan pamit tanpa kata dari sana. Ingin rasanya ia mengubur diri dalam lubang saat ini. Ketahuan sekali jika ia sedang terpesona dengan Akmal. Apa yang harus ia lakukan dan katakan nanti kalau bertemu dengan lelaki itu lagi?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Second
Romance(CERITA INI SUDAH TERBIT DI EBOOk. SILAKAN CEK DAN DOWNLOAD DI PLAYSTORE) Duren? Satu kalimat yang membuat Lana ingin tertawa mendengarnya. Kesan pertama saat ia pertama melihat seorang lelaki yang berstatus duda yang juga merupakan tetangganya. Tap...