Semenjak kejadian ia tertangkap basah sedang mengagumi lelaki itu di mesjid, Lana merasa selalu salah tingkah bertemu dengan Akmal. Tapi, lelaki itu bersikap hangat seperti biasa kepada Lana seolah kejadian itu tak begitu penting baginya. Saat ini, Pascal tidak bisa masuk ke kantor karena sedang sakit dan mobilnya sedang masuk bengkel. Terpaksa, ia harus rela naik angkutan atau bus umum berdesak-desakkan dengan orang lain. Ia baru keluar dari rumahnya dengan baju kemeja panjang pink baby dan rok hitam selutut yang dimasukkan ke dalam. Sambil menenteng tas hitamnya dan high heels kremnya, ia terus berjalan menuju keluar gerbang rumahnya. Ia memutuskan untuk berjalan kaki saja hitung-hitung olahraga pagi menuju jalan raya.
"Lana!" Lana yang sedang berjalan menolehkan wajahnya ke belakang saat mendengar sebuah suara yang memanggilnya. Ia melihat sebuah motor yang mendekat ke arahnya. Seorang lelaki yang dikenalnya dengan seragam kerjanya.
"Mas Akmal?" Akmal yang membuka helmnya hanya tersenyum dan meneliti penampilan gadis di depannya yang terlihat begitu cantik dan segar di matanya.
"Baru berangkat? Kok gak bawa mobil?" Lana tersenyum dan menggeleng.
"Mobil saya lagi di bengkel, Mas. Kakak saya lagi sakit dan gak masuk kerja, juga Papa. Jadi, cuma saya aja yang pergi ke kantor." Akmal mengangguk.
"Oh..., kalau gitu, lebih baik kamu ikut aku aja. Sekalian aku juga mau berangkat kerja." Lana terlihat berpikir sejenak.
"Daripada nanti kejebak macet. Mending ikut aku aja." akhirnya, Lana mengangguk. Akmal benar, ia takut kesiangan karena terjebak macet.
"Oke. Ayo, Mas!" ia langsung naik ke motor Akmal dengan posisi menyamping dan memakaikan helm yang diberikan lelaki itu. Tak lama, mereka mulai melaju menuju keluar komplek.
***
"Mas kerja di mana?" tanya Lana yang bersahutan dengan suara bising jalan raya.
"Salesman di sebuah perusahaan kosmetik dan obat-obatan serta makanan." Lana mengangguk.
"Oh... Biasa berangkat kerja kapan aja?"
"Suka pagi, sih. Kadang juga siang." Lana mengangguk lagi.
"Kalau kamu gimana?"
"Ya, Mas?" Lana merasa pendengarannya terganggu karena kondisi mereka yang sedang berada di jalan raya yang sangat bising.
"Gimana dengan pekerjaan kamu?"
"Oh... Saya baru seminggu ini kerja jadi sekretaris kakak saya di kantor perusahaan milik keluarga saya. Saya baru nyelesain kuliah saya di Inggris." Akmal mengangguk.
"Kamu kuliah di luar negeri?" Lana mengangguk.
"Iya. Saya kuliah di negara asal papa saya. Papa saya orang Inggris asli." Akmal mengangguk lagi.
"Oh... Blaster, ya?" Lana tersenyum dan mengangguk.
"Iya. Mama saya juga blasteran. Cuma beliau keturunan Indo-Tionghoa." Akmal mengangguk.
Setelah mengisi waktu selama perjalanan dengan mengenal riwayat hidup masing-masing sambil menunggu kemacetan yang mulai terurai, tak terasa mereka sudah sampai di depan kantor tempat Lana bekerja.
"Ini kantornya?" Lana mengangguk.
"Iya, Mas." ia turun dari motor Akmal sambil melepaskan helmnya dan menyerahkannya kepada lelaki itu. Akmal menatap gedung perkantoran yang terbilang besar dan megah itu.
"Makasih ya Mas udah mau nganterin saya. Maaf jadi ngerepotin...." ucapnya sambil tertawa kecil. Akmal tersenyum dan menggeleng.
"Gak apa-apa, kok. Lagian tempat kerjaku juga tinggal dikit lagi dari sini." Lana mengangguk.
"Yaudah kalau gitu, saya masuk dulu ya, Mas? Hati-hati di jalan!" Akmal tersenyum dan mengangguk.
"Oke." lalu, motor Akmal mulai melaju dari sana meninggalkan Lana sendiri di depan gedung kantor. Ia membalikkan tubuhnya dan berjalan masuk ke dalam dengan para karyawan lainnya.
"Hayooo...! Cowok kamu, ya? Ganteng juga, Lan." Lana menolehkan wajahnya saat dirasanya ada yang menepuk bahunya. Ia tertawa.
"Bukan, Stev. Dia tetangga baruku." Stevie, teman baru Lana di kantornya itu tersenyum menggoda.
"Lagi PDKT, ya? Cieee...." Lana tertawa lagi.
"Bukan, Stevie... Kepo aja, ah!" Stevie mengerucutkan bibirnya. Lalu, mereka berjalan bersama dan masuk menuju lift bersama karyawan lainnya.
***
Seharian berkutat di depan layar membuat mata Lana terasa perih dan tubuhnya terasa pegal karena terlalu lama duduk. Ia merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Ia memutuskan untuk beristirahat sejenak dan meraih ponselnya yang tergelatak di mejanya. Ia membuka aplikasi Instagram untuk melihat aktivitas-aktivitas teman-temannya di sana. Entah kenapa, tangannya tergerak untuk mengetikkan sebuah nama yang selalu memenuhi benaknya selama ini, Akmal. Ia mendadak begitu penasaran dan ingin tahu tentang latar belakang lelaki itu sebenarnya. Setelah nama yang dicari ditemukan, ia terus menelusuri deretan foto yang diunggah oleh Akmal. Kebanyakan foto-fotonya sedang berpose dengan teman-temannya. Saat mereka sedang berada di tempat kerja, menjelajah alam, di pantai, dan tempat lainnya. Ia mengambil kesimpulan, Akmal adalah tipikal orang yang menjunjung tinggi persahabatan. Tiba-tiba, matanya berhenti pada sebuah foto di mana Akmal sedang merangkul erat kedua bocah lelaki dan perempuan yang ia tebak kedua bocah itu kakak beradik. Ia memperbesar gambar itu. Ia melihat wajah anak lelakinya yang sangat mirip dengan Akmal dan bocah perempuan yang ia tebak mungkin mirip dengan ibunya. Entah kenapa, seperti ada yang menyentil hatinya saat mengingat status Akmal yang seorang duda. Ia melihat beberapa komentar di bawahnya. Ia kini tahu jika mereka adalah kedua anak Akmal dari mantan istrinya. Meskipun seperti ada sesuatu yang mencubit hatinya, ia masih penasaran dan membuka foto lainnya. Dan kini, ia menemukan sebuah foto keluarga kecil yang lengkap. Akmal yang sedang mendekap mantan istrinya yang terlihat cantik dan manis di matanya di sebuah sofa besar dengan kedua anak mereka yang masih kecil. Benar-benar keluarga bahagia seperti komentar-komentar orang di sana. Kali ini, hati Lana benar-benar seperti tersayat sebuah pisau kecil. Apakah ia mulai menaruh hati kepada lelaki itu setelah perkenalan mereka? Apakah ia sedang cemburu?
Ting ...
Ada satu pesan yang masuk. Ia membukanya dan ternyata dari Akmal. Ia membacanya sejenak.
'Lan, pulang nanti sendiri atau dijemput?'
Ia memilih untuk tidak membalasnya saja. Mood-nya terasa turun ke titik terendah setelah melihat koleksi foto pribadi Akmal tadi. Bahkan, foto mantan istrinya saja belum dihapus. Mantan pacar saja banyak yang susah move on, apalagi mantan istri atau suami yang pernah menghabiskan waktu setiap detik, berbagi segalanya, jiwa dan raga dalam satu atap. Ia menggelengkan kepalanya mencoba untuk mengusir berbagai pikiran negatif yang mengganggu benaknya saat ini.
"Hmm... Cukup pendam dalam hati aja deh kalau emang suka. Aku gak mau berharap terlalu jauh dan terluka ujung-ujungnya. Dianya juga belum tentu suka sama kamu, Lan." gumamnya sambil beranjak dari duduknya dan memutuskan untuk makan siang dan istirahat. Menghabiskan waktu istirahat dengan Stevie atau teman lainnya mungkin lebih menyenangkan daripada menghabiskan waktu untuk saling membalas pesan dengan Akmal yang nyatanya tak mampu menjanjikan apa-apa untuknya selain sebuah harapan semu.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Second
Romansa(CERITA INI SUDAH TERBIT DI EBOOk. SILAKAN CEK DAN DOWNLOAD DI PLAYSTORE) Duren? Satu kalimat yang membuat Lana ingin tertawa mendengarnya. Kesan pertama saat ia pertama melihat seorang lelaki yang berstatus duda yang juga merupakan tetangganya. Tap...