10. Sebuah Kepastian

11.1K 751 2
                                        

Ingin rasanya Lana tak memegang ponselnya sehari saja. Ia tak pernah berhenti berharap akan ada satu pesan saja dari Akmal yang masuk ke ponselnya. Tapi nyatanya, sudah 4 hari ini tak kunjung ada kabar apa pun dari lelaki itu. Bahkan, ia hampir tak pernah melihat Akmal walau hanya sekedar lewat saja dekat rumahnya. Ke mana sebenarnya lelaki itu? Akmal seperti menghilang ditelan bumi. Saat ia sedang bergulat dengan batinnya memikirkan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang belum tentu nyata, tiba-tiba ia mendengar ponselnya bergetar. Dengan sigap, ia segera meraih ponselnya yang tergeletak di meja. Namun, ia harus kembali kecewa dikala harapannya dan keyakinannya sudah bersemi, ternyata kakaknya yang memanggil. Ia segera mengangkatnya.

"Ya, Kak. Ada yang bisa aku bantu?" tanyanya mencoba untuk menyembunyikan rasa kecewanya.

"Tadi Kakak manggil kamu lewat telpon, tapi tak ada yang mengangkat." Lana tersadar kembali. Apakah ini efek dari galau yang sedang dirasakannya sampai dering telpon saja tidak terdengar olehnya?

"Oh... Maaf, Kak. Mungkin aku lagi serius kerja dan gak denger ada telpon masuk." Lana merutuki alasan konyolnya. Serius kerja atau serius mikirin Akmal?

"Oh, yaudah. Kakak minta berkas yang 3 hari yang lalu. Kamu bawa ya sekarang ke ruangan Kakak!" Lana mengangguk.

"Iya, Kak." sambungan terputus dan Lana segera mencari berkas yang diminta kakaknya dalam file box yang disimpan di mejanya. Setelah benda yang dicari ditemukan, ia beranjak dari duduknya dan berjalan menuju ruangan kakaknya untuk memberikan berkas yang diperlukan kakaknya saat ini. Ia membuka pintu ruangan Pascal dan masuk ke dalam menghampiri kakaknya yang sedang serius menelusuri lembaran-lembaran dokumen di kursi kebesarannya.

"Ini Kak berkasnya." Pascal mendongakkan kepalanya dan meraih berkas yang diberikan Lana.

"Makasih, Lan. Kamu udah cek ulang belum jadwalnya di berkas ini?" Lana mengangguk.

"Iya, Kak. Kakak nanti bisa periksa lagi. Kalau Kakak butuh bantuan, panggil Lana aja, ya?! Maafin Lana tadi yang gak ngangkat telpon Kakak." Pascal mengangguk. Lana merasa tak enak dengan ketidakprofesionalannya dalam bekerja hanya karena terganggu oleh masalah pribadi.

"Gak apa-apa. Kamu boleh kembali ke tempatmu." Lana mengangguk dan membalikkan tubuhnya untuk keluar dari ruangan kakaknya.

Sesampainya di mejanya, ia meraih ponselnya yang tergeletak di mejanya. Ia mengerutkan keningnya saat melihat satu panggilan tak terjawab dari Akmal beberapa detik yang lalu. Ia merasa seperti mimpi. Jantungnya berdegup kencang dan wajahnya mulai memanas tak jelas. Sebesar itukah pengaruh Akmal bagi hidupnya saat ini? Tanpa pikir panjang, ia segera men-dial nomor lelaki itu dan menelpon balik. Ia sudah gugup menanti jawaban dari sebrang sana.

"Assalamualaikum, Lana. Maaf ya tadi ganggu waktu kamu?!" Lana menarik nafas sejenak. Ia tak memungkiri jika ia merindukan suara berat ini. Jantungnya masih berdegup kencang.

"Walaikumsalam. G-gak apa-apa kok, Mas. Ada apa ya, Mas?" Lana seakan ingin berjingkrak-jingkrak heboh saat ini. Andai Akmal tahu jika Lana mati-matian menantinya untuk menghubunginya dari kemarin-kemarin. Ia tak punya keberanian menghubungi lelaki itu duluan karena ia takut dicap agresif dan kurang baik di mata Akmal. Terdengar helaan nafas dari sana.

"Apakah nanti malam kamu ada acara?" Lana mengerutkan keningnya sejenak. Apa Akmal akan mengajaknya berkencan lagi seperti waktu itu? Lana sudah harap-harap cemas. Ia menggeleng.

"Enggak, Mas. Memangnya kenapa?"

"Boleh aku malam nanti datang ke rumahmu? Ada yang ingin aku bicarakan dengan orang tuamu." Lana mengerutkan keningnya penasaran.

The SecondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang